Monday, April 2, 2007

Peran Air, Refleksi atau Wacana?

Oleh : Cici Wardini
Tanah Sereal, Bogor

Air. Tiga huruf yang meski kelihatan sepele membawa dampak yang sangat besar baik bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Bayangkan jika dalam keadaan normal atau paling tidak dalam waktu tiga jam kita tidak meneguk air minum. Tidak pernah ada dalam sebuah demonstrasi terdapat sebuah aksi mogok minum. Jika boleh dikatakan renungkanlah bahwa saat ini air bukan lagi sebagai komoditi sumber daya alam yang dapat dengan mudah untuk kita dapatkan. Kelangkaan air telah melanda masyarakat baik di kota besar dan kecil serta pencemaran air merebak akibat industrialisasi.

Mengapa air kemudian menjadi hal yang langka saat ini? Perlukah dirombak pelajaran SD kita yang mengatakan bahwa air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui? Lalu pertanyaannya sekarang adalah sampai sejauh mana kepedulian kita terhadap keberadaan air?

Dan bencana yang marak terjadi belakangan jika bukan karena kelalaian kita tentu paling tidak kita dapat meminimalisir bencana tersebut. Sebut saja kelalaian itu terhadap kurangnya kedisiplinan untuk tidak membuang sampah sembarangan, pembalakkan liar yang marak terjadi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab menyebabkan banjir yang melanda serta bencana longsor di beberapa daerah merupakan cerminan dari watak bangsa ini yang belum juga sadar akan makna air sesungguhnya. Dimana kemudian letak hukum berada?

Dilihat dari sudut kebijakan pemerintah, air yang semula ‘dinobatkan’ sebagai sumber daya bagi hajat hidup orang banyak yang mesti dilindungi oleh Undang-Undang kenyataannya saat ini tidak demikian. Swastanisasi air telah ditetapkan sehingga pihak swasta dapat bebas menguasai air. Air kemudian bukan menjadi komuniti publik yang semestinya mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Apakah pemerintah lepas tangan atas semua yang seharusnya menjadi kewajibannya dalam menjalankan tugas? Masalah angkat tangan telah terbukti dengan adanya RUU BHP tentang pendidikan dimana pemerintah telah mengotonomikan pendidikan tersebut. Kembali pada konteks air, Lalu dimana keberadaan masyarakat terutama masyarakat awam dilihat dari sudut peran dalam dalam haknya?

Masalah air menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara Indonesia yang baik. Adalah hal mudah jika kita memulai sesuatu dengan hal yang kecil dahulu. Sampah yang menumpuk di sekitar batas bendungan ketika banjir melanda di Jakarta serta tumpukkan sampah yang ada di Bandung merupakan peringatan mimpi buruk agar kita mesti sesegera mungkin untuk mendisiplinkan diri. Agaknya peran yang komprehensif dan berkesinambungan perlu segera dilakukan oleh seluruh elemen baik itu pemerintah, swasta serta rakyat. Pemerintah harus memperhatikan segala aspirasi masyarakat di setiap pembuatan kebijakannya. Pengembangan masyarakat kemudian jangan hanya dijadikan wacana belaka ketika kemudian program secara bottom up menjadi perlu dilakukan.

Belum terlambat untuk memperbaiki segalanya menjadi lebih baik. Kita bisa menyuarakan aspirasi kepedulian kita dengan menjalin kerja sama yang baik dengan membangun sebuah organisasi yang peduli akan keberadaan serta peran air. Menyadarkan kekhilafan masyarakat selama ini dalam penggunaan air yang tentu harus didasari oleh filosofi yang benar atas dasar kepentingan umum. Ya, belum terlambat, jika kita memang benar-benar berniat untuk memperbaiki semuanya, moment untuk keberlanjutan air untuk masa depan telah kita genggam. Semoga!

16161

No comments: