Friday, March 23, 2007

Kebutuhan Air Bagi Rakyat Tanggung Jawab Pemerintah

Oleh : Sarono
Duren Sawit, Jakarta.


“Jangan salahkan kami jika akhirnya terjadi sebuah peperangan demi memperebutkan seteguk air untuk keluarga kami. Hal ini kami lakukan karena kami (rakyat kecil) tidak mampu membeli air yang harganya lebih mahal dari harga minyak ini. Air adalah kebutuhan vital. Tanpa air kami akan mati. Jadi kami memilih perang untuk berebut air daripada keluarga kami mati karena kehausan”

Kalimat di atas merupakan sebuah keprihatinan saya ketika banyak dari saudara-saudara kita yang tidak dapat menikmati air bersih dalam hidupnya. Bahkan mereka (warga yang tinggal di bantaran kali seperti di kali Ciliwung/Jakarta), misalnya, harus mengkonsumsi air yang sudah kotor dan tercemar untuk memenuhi kebutuhan airnya baik itu untuk mandi, gosok gigi, mencuci pakaian, bahkan mencuci bahan-bahan untuk dimasak.

Kekhawatiran itu semakin menjadi karena berbagai kebijakan pemerintah justru menjauhkan masyarakat miskin untuk mendapatkan air bersih secara cuma-cuma. Salah satu kebijakan pemerintah yang akan mengakibatkan masyarakat miskin tidak mendapatkan akses air bersih adalah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Dalam UU itu disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya air ditetapkan dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha.

UU ini semakin menguatkan swastanisasi air bersih yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh Presiden melalui Keppres No. 96 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa saham perusahaan air minum dapat dimiliki oleh swasta asing sampai 95%. Swastanisasi pengelolaan air ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan akses air bersih bagi masyarakat bawah karena akan terjadi eksploitasi secara berlebihan demi keuntungan ekonomi semata.

Swastanisasi air juga akan membuat industri dan perusahaan skala besar mendapatkan prioritas dibandingkan konsumen lainnya. Pasalnya industri dan perusahaan akan berani membayar dengan harga tinggi. Sedangkan masyarakat kelas bawah yang tidak mampu membeli air bersih akan mengkonsumsi air yang secara kesehatan tidak memenuhi syarat karena sudah tercemar.

Melihat kenyataan-kenyataan ini, saya berharap agar pemerintah sebagai induk bagi seluruh rakyatnya dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak kepada rakyatnya. Apalagi air sesungguhnya adalah bagian dari hak asasi manusia untuk memperolehnya. Indonesia yang sebenarnya memiliki sumber daya alam termasuk sumber daya air yang melimpah, sudah seharusnya rakyatnya tidak kesulitan air bersih.

Namun jika kebijakan dari pemerintah sudah tidak berpihak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses yang sebesar-besarnya terhadap air, maka dikhawatirkan akan terjadi perang untuk memperebutkan air. Sebab masyarakat tidak akan mampu membayar untuk mendapatkan air. Apalagi dalam kondisi ekonomi bangsa yang belum stabil seperti sekarang ini. Jadi sekali lagi, masalah air ini sebenarnya perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah agar seluruh rakyat tidak kesulitan mendapatkan air besih kendati hidup dalam kemiskinan.

Air, Si Teman Hidup Yang Abadi

Oleh : Xaveria Rienekso Hendryaningrum,
Tebet, Jakarta.


Ratusan bahkan jutaan mahkluk di bumi ini membutuhkan air, bukan saja kita, manusia. Melainkan habitat lainnya juga menjadikan air sebagai kebutuhan pokok mereka. Namun, sejauh mana kita menganggap air adalah satu hal yang penting? Dan sejauh mana kita dapat memberi suatu arti terhadap air? Sederhananya, pernahkah kita bertanya “dari mana air ini berasal dan bagaimana prosesnya sehingga kita bisa menikmatinya?” Tidak banyak diantara kita yang mengerti betul bagaimana dari sekian proses, air itu bisa menjadi Coca-cola dan siap kita nikmati!

Memang bukan hal yang mudah untuk memberikan arti terhadap air. Bukan sekedar ‘Ibu-lah yang merebus air sehingga dapat menghilangkan dahagaku!’ Seharusnya tidak bisa disederhanakan sedemikian rupa untuk menjadikan air sebagai sahabat kita sekaligus “teman hidup” yang abadi.

Antrian panjang untuk mendapatkan air bersih adalah pertanda bahwa air adalah “teman hidup” yang terus-menerus dicari oleh para penikmatnya. Banjir yang menenggelamkan sebagian permukaan daratan adalah bukti permusuhan kita, manusia dengan air. Lalu-lalang orang-orang menutup hidung ketika melintasi sungai yang penuh sampah merupakan tanda keegoisan manusia terhadap “teman hidupnya yang kekal”.

Jika permusuhan dan keegoisan manusia terhadap air memuncak, tiba saatnyalah si air meluapkan amarahnya karena merasa diabaikan oleh “teman hidupnya” yaitu kita, manusia. Dan ketika amarah si air yang terbendung sekian lama meledak hebat, tibalah kita menangis, memohon-mohon kepada air untuk kembali menjadi teman hidup kita. Bahkan kita selalu menjanjikan kepada air untuk hidup kekal bersama. Namun janji tinggalah janji! Seandainya kita bisa bertanya kepada nenek moyang kita pada masa Nabi Nuh, bagaimana rasanya ‘air bah yang menenggelamkan seluruh permukaan bumi?

Sudah seharusnya sejak saat inilah, pada momen World Water Day, kita mencintai dengan tulus dan berjanji untuk tidak berpaling dari air. Namun, komitmen ini memang mengandung konsekuensi besar. Yaitu membentuk dan menjaga kelestarian lingkungan, menggunakan air sesuai kebutuhan, membuat dan menerapkan hukum yang berguna untuk melindungi air (sungai, laut, pantai dll), cagar alam, hutan, lingkungan hidup, dll.

Hal ini merupakan tindakan nyata atas pengorbanan kita terhadap air sebagai “teman hidup” yang telah memberikan ‘nyawa bagi kehidupan, dimana kita benar-benar menginginkan untuk terus bersanding dengannya. Dengan semangat Hari Air Sedunia, kita pastikan semua perilaku manusia terhadap air-lingkungan dan semua produk hukum berpihak pada kelangsungan air untuk masa depan.

Air Tiga Masa; Dulu, Sekarang, dan Akan Datang

Oleh : Stephanie Anggraini Surya,
Manggarai, Jakarta.

Di masa lalu, air dianggap sebagai barang berharga. Di jaman manusia hidup berpindah-pindah pun, mereka selalu tinggal di dekat sumber air. Bahkan ada peperangan yang terjadi karena perebutan sumber air. Penggunaan air pun dijaga ketat dengan hukum adat yang dibuat oleh masyarakatnya. Dahulu, manusia memuja alam, termasuk air yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Manusia dan alam hidup berdampingan bak suami istri.

Akan tetapi, sekarang, manusia bak majikan alam. Manusia menentukan nilai dan hidup-mati suatu tumbuhan, batas seberapa banyak hasil alam yang akan diambil, ataupun akan digunakan seperti apa. Air dipompa secara terus-menerus tanpa batas untuk memenuhi beragam kebutuhan yang ada di kehidupan sehari-hari kita. Dan seringkali, kita yang menerima ini lupa memberi kembali, entah dalam bentuk reboisasi, membangun sumur resapan, ataupun menjaga kebersihan sungai di sekitar kita.

Akibatnya jelas, keseimbangan alam yang selama ini terjaga dengan baik menjadi rusak, bencana pun datang silih berganti. Dan saat banjir besar di Jakarta baru-baru ini, konyolnya, kita bertanya kenapa musibah ini bisa terjadi? Semua orang lantas sibuk mencari ‘kambing hitam’; ada yang menyalahkan kota Bogor sebagai pengirim banjir, ada yang menyalahkan pemerintah yang tidak tegas terhadap perencanaan perkotaan, ada yang mengatakan ini takdir dan lain sebagainya.

Saya rasa tidak ada orang yang mau disalahkan, saya juga demikian. Terlebih lagi, lebih mudah melihat kesalahan orang lain. Akan tetapi, kerugian mendapatkan ‘kambing hitam’ adalah secara tidak langsung kita berhenti introspeksi diri, membenahi diri ataupun melakukan sesuatu. Hal inilah yang membuat bencana terus berulang, bumi semakin hancur, dan pasokan air semakin menipis.

Dahulu orang mengatakan bahwa air tak akan habis, tapi dahulu mereka bahkan tak bermimpi es di kutub utara bisa mencair seperti yang saat ini terjadi. Melihat fenomena ini, kita dapat sama-sama menanyakan ini pada diri kita, “Apakah masih ada air bersih untuk semua di masa depan? Atau hanya sebagian kecil orang saja yang memiliki akses air bersih karena air sudah jadi barang langka?” Sebelum ini terjadi, apa yang kita dapat lakukan? Apa yang Anda ingin lakukan?

Berikan Sanksi Berat Kepada Perusak Alam

Oleh : Suta Widhya,
Utan Kayu, Jakarta.


Keberadaan air sangat mutlak bagi umat manusia. yaitu untuk air wudhu dan MCK. Fasilitas air yang minim memaksa panitia langsung memesan air pada PDAM setempat untuk satu kali kiriman dengan mobil tangki setiap pagi harinya untuk diisi di bak penampungan. Itulah pengalaman ketika mengikuti kegiatan amal di Padang yang melibatkan peserta dari berbagai daerah.

Bila panitia semata-mata mengandalkan suplai air tanah yang hanya mampu memasok bak penampung ukuran kecil, maka akan sengsaralah 99 orang yang menjadi peserta kegiatan ini, padahal bak MCK massal yang terletak terpisah dari rumah panggung itu perlu diisi demi kebutuhan para peserta.

Selain fenomena di atas, ada laporan peserta dari Ingragiri Hulu, Rengat, yang mengatakan,bahwa transportasi antara Rengat ke Tembilahan tidak lagi memakai Speed Boat atau Kapal Fery. Air Sungai sudah lama menyusut karena kerusakan hutan. Sekarang jarak Rengat ke Tembilahan sudah dilalui dengan melalui jalan darat. Kabar ini menyakitkan sekali. Ternyata kerusakan alam sudah terjadi dimana-mana. Menyusutnya air sungai di Indragiri diakibatkan pendangkalan dan kerusakan hutan di wilayah sekitar.

Menyelamatkan air bagi umat manusia sudah pasti dengan menjaga lingkungan hidup . Menjaga air bukan hanya untuk masa kini, tapi juga untuk masa depan. Pengajaran agama Islam akan lebih efektif, andaikan aplikasi di lapangan sesuai antara kata yang terucap dan perbuatan yang dilakukan. Hemat pemakaian air mestilah dilakukan dari diri sendiri. Bila dikatakan bahwa kerusakan di muka bumi adalah karena ulah tangan manusia, maka jangan pula menyalahkan siapa-siapa.

Sanksi bagi para perusak hutan sepantasnya sama dengan sanksi yang dijatuhkan kepada para pembunuh umat manusia. Sebab, dengan merusak hutan sama dengan merusak kehidupan, manusia dan mahkluk hidup lainnya. Berikan sanksi berat kepada perusak alam!

Rendahnya Kesadaran Untuk Menjaga Air

Oleh : Muhamad Dong
Ciputat, Jakarta.

Sudah tidak bisa disanggah lagi bahwa kesadaran masayarakat untuk menjaga air sangat rendah, seiring dengan perubahan waktu kondisi air semakin memprihatinkan penebangan hutan masih merajalela, tingkat pencemaran aliran sungai semakin tinggi dan ruang-ruang terbuka sebagai sumber resapan air semakin sedikit.

Kebiasaan tidak terpuji ini dapat mengakibatkan mala petaka besar yang bisa mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Banjir yang terjadi belakangan ini merupakan contoh yang dapat dipetik sebagai pelajaran untuk menuai kesadaran bersama agar kita semua dapat menjaga air dengan baik.

Bisa disimpulkan bahwa tingkat pencemaran linkungan baik itu dalam skala kecil maupun besar sudah menjadi kebiasaan buruk ditengah masayarakat kita. Sikap yang tidak ramah terhadap linkungan membuat kita semena-semena terhadap alam, padahal disisi lain alam merupakan titipan yang harus dijaga dan dipelihara agar dapat memberi mamfaat bagi kehidupan manusia.
Air merupakan sumber kehidupan, dan banyak sekali mamfaat air yang dapat diambil bagi kehidupan manusia sudah sepantasnya untuk kita jaga dan pelihara dengan baik agar kelestarian air dapat kita wariskan pada generasi mendatang.

Tidak perlu kita berpikir mencari cara yang lebih canggih untuk menjaga air, karena untuk menjaga air cukup dengan cara yang sangat mudah untuk dilakukan. dengan memelihara lingkungan, membuat taman-taman sebagai sumber resapan air, stop membuang sampah atau limbah kesungai dan berhenti menggunduli hutan berarti kita sudah menjaga keselamatan air dengan baik.

Peringatan hari air sedunia yang jatuh apda bulan Maret ini dapat kita jadikan sebagai momentum untuk menggugah kesadaran bersama dalam menjaga dan menyelamatkan air. Mari kita mulai dari diri sendiri untuk berperan aktif dalam menjaga air, agar kita dapat mewariskan air yang bersih buat anak cucu kita nanti. “Bening airku cerdas generasiku, biarkanlah airku mengalir sampai jauh”. Selamat hari air sedunia,.