Monday, April 2, 2007

Air dan Kekuatannya

Oleh : Rini Utami Azis
Solo, Jawa Tengah.

Siapakah yang bisa hidup tanpa air ? Begitu besar keguanaan air dalam kehidupan di dunia ini. Saat kita gerah dan kotor setelah beraktifitas sehari-hari, kita menyiramkan badan kita dengan air untuk mandi. Kemudian kita meneguk air kalau dahaga, dan begitu banyak sekali aktifitas kehidupan kita yang sangat bergantung pada air.

Begitu lekatnya air dalam kehidupan kita, sehingga bisa saja ada yang tidak menyadari manfaatnya. Manfaat itu baru terasa bila kita mengalami kesulitan mendapatkan air bersih.

Ketika saluran air mengalami gangguan, dan keluarnya air menjadi mampat dan kotor, itu sudah sangat meresahkan kita. Bagaimana kalau air sudah tidak kita dapati lagi ? Bencana kekeringan yang menimpa, selain bencana banjir yang begitu dahsyat terjadi karena kesalahan mahluk di dunia ini yang begitu serakah dan tidak peduli dengan kondisi alamnya.

Begitu besar kekuatan air dalam kehidupan ini, karena itulah sayangilah air dengan menggunakannya sebaik-baiknya. Selain itu, kekuatan air akan semakin bertambah dan berpengaruh positif pada diri kita bila saat hendak menggunakan air, misalnya mau minum, kita berdoa terlebih dahulu.

Hal tersebut dibuktikan oleh profesor dari Jepang dengan penelitiannya tentang air yang akan berubah tekstur dan kristalnya sesuai kondisi pemakainya. Karena itu gunakanlah kekuatan postif air dengan menggunakannya dengan penuh kasih sayang. (Surat Pembaca telah dimuat di Harian Solopos, Senin, 26 Maret 2007).

Ironi Indonesia

Oleh: Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Menjadi ironi sebenarnya, ketika membaca posisi Indonesia dalam menghadapi isu kelangkaan air global. Sebab bumi Nusantara merupakan surga Khatulistiwa yang kaya raya. Tongkat ditancapkan pun bisa merangkak tumbuh. Apalagi bibit pohon sesungguhnya.

Artinya kandungan nutrisi, unsur hara, terutama air, luar biasa melimpah di dalam bumi kita. Tapi mengapa Indonesia justru masuk kategori negara yang terancam krisis air?

Hanya menyalahkan faktor alam dan lingkungan? Sangat tidak masuk akal. Sebab selama ini alam terlampau baik terhadap kita. Cuma, kita saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan kita sendiri yang selalu mengkhianati kebaikan itu.

Buktinya saat musim hujan Indonesia kaya dengan air. Tapi karena lingkungan telah kita cederai, yang tersisa bukan deposit air, melainkan banjir. Akibat lainnya, bila musim kemarau tiba, paceklik air selalu melanda. Itulah akibatnya jika kita melukai alam. Padahal alam tidak pernah alpa melayani kita.

Revitalisasi Nilai Tradisional untuk Menjaga Alam

Oleh: Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Apa perbedaan mendasar orang zaman dulu dengan orang zaman sekarang (modern) ketika berhadapan dengan alam dan lingkungan sekitar? Perbedaannya terletak pada persepsi mereka terhadap alam dan lingkungan sekitar.

Orang zaman dulu menganggap alam merupakan bagian dari kehidupannya. Bahkan bagian dari nyawanya sendiri. Ada semacam benang merah yang memperantarai antara dunia kehidupan manusia dengan dimensi alam lingkungan. Sehingga dari situ manusia akan menganggap alam dan lingkungannya sebagaimana layaknya saudara sesama manusia. Mereka tabu mengintervensi kehidupan alamiah alam dan lingkungan. Apalagi melakukan perbuatan yang dapat merusak kelestariannya. Walaupun agak berbau tahayul dan tidak rasional, tapi toh dengan itu, kelestarian alam dan lingkungan relatif lebih terjaga.

Tapi kalau manusia modern malah sebaliknya. Mereka menganggap alam dan lingkungan sebagai dunia luar yang terpisah dari kehidupannya. Sehingga alam dan lingkungan hanya untuk dimanfaatkan, dieksplorasi, bahkan dieksploitasi demi kebutuhan manusia semata. Tanpa pernah memikirkan kelangsungan hidup alam dan lingkungan itu sendiri. Pola pikir semacam itulah yang menjadi pangkal bencana alam, rusaknya lingkungan, termasuk ancaman krisis air. Sebab manusia akan seenaknya menebang kayu, membuang sampah-sampah plastik di sembarang tempat, tanpa memperhatikan nasib kelestarian alam lingkungan.

Karena itu, salah satu jalan menyelamatkan keberadaan alam dan lingkungan agar lestari adalah dengan mencoba menerapkan kembali prinsip-prinsip primitif itu pada generasi muda kita. Tujuanya agar mereka tidak terlampau silau dengan pola pikir modern yang justru tidak bersahabat dengan alam dan lingkungan. Juga agar mereka punya rasa takut untuk merusak alam dan lingkungan. Dengan harapan di masa depan alam dan lingkungan kita tetap terawat. Sehingga krisis air dapat terhindarkan.

Sekali lagi, bukan bermaksud mengajari generasi muda kita pikiran mistis dan tahayul. Karena tidak selamanya nilai-nilai tradisional itu jelek. Dan telah terbukti jika modernisasi di segala bidang malah banyak mendatangkan bencana.

Menciptakan Teknologi Pengolahan Air

Oleh : Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Banyak pakar memperkirakan dunia akan mengalami krisis air di masa depan. Faktor hancurnya ekologi serta rusaknya beragam ekosistem yang hidup di sekitar lingkungan peradaban manusia, disinyalir menjadi penyebab utama krisis tersebut. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini telah tandus. Sungai-sungai juga mengalami penyempitan akibat tumpukan sampah di sekeliling muaranya.

Berbagai program revitalisasi air terus digalakkan untuk mengantisipasi datangnya bencana itu. Dari sekian banyak program itu, mayoritas diarahakan pada pembenahan mental manusia yang acuh terhadap pentingnya menjaga sirkulasi air dan kelestarian lingkungan. Diantaranya, advokasi lingkungan, menggalakkan reboisasi, kampanye di media massa, maupun mengagendakan penyuluhan langsung di lapangan.

Namun entah sampai kapan langkah-langkah seperti itu dapat bertahan. Sebab kita serasa jalan di tempat. Seakan tidak ada perubahan berarti dari seluruh program tersebut. Manusia tetap saja brutal terhadap lingkungan, air dan kandungan alam lainnya. Bahkan tambah hari, kuantitas dan kualitas kejahatan mereka kian meningkat. Dan krisis air maupun degradasi lingkungan hampir mendekati kenyataan.

Bukan bermaksud berputus asa. Tapi kita harus realistis. Upaya yang tertempuh selama ini tentang revitalisasi lingkungan dan air tidak berdampak signifikan. Dari situ seharusnya kita berfikir lebih futuristik. Dan untuk sementara kita abaikan ulah manusia-manusia tidak beradab itu. Biarkan mereka merasakan dampak atas tingkah mereka sendiri suatu saat nanti. Lebih baik kita sekarang memikirkan masa depan air jika kondisinya mencapai titik terburuk.

Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, kita bisa menciptakan alat pengolah air laut menjadi air tawar. Atau pengolah air keruh yang diambil dari sumber manapun menjadi air yang layak dikonsumsi manusia. Memang teknologi semacam itu sudah tersedia saat ini. Tapi apa salahnya jika kita terus memperbarui dan mempercanggihnya. Agar jika situasi buruk soal pengadaan air bersih benar-benar terjadi, alat itu dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Dan biarlah manusia-manusia yang lalai memikirkan masa depan air akan musnah dengan segala kebodohannya.

Liberalisme Air

Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.

Gelombang liberalisasi tampaknya sudah tak terbendung lagi. Semua aspek hidup kita terpaksa harus tunduk pada kesepakatan-kesepakatan internasional yang hanya memperhatikan pemilik modal besar.

Telah tampak adanya diskriminasi karena privatisasi air. Kebijakan yang tidak pro dengan rakyat ketika air adalah bisnis, maka ia kemudian tak sekedar bergerak mencari keuntungan, tetapi juga bagaimana dapat mengikat dan lalu memperdaya orang sehingga mau tunduk terhadapnya, terhadap kekuasaan yang menguasainya. Pengelolaan air tidak lagi mempertimbangkan bagaimana melakukan pengelolaan air dalam suatu sistem yang sanggup memberi pelayanan air kepada masyarakat secara adil, merata dan terjangkau.

Air adalah kebutuhan dasar manusia, sebab itu air tak boleh dikomersialisakan sebagai kebutuhan dasar masyarakat, telah dijamin dalam konstitusi negara pada pasal 33 UUD 1945. Contohnya di Batam, daerah pemukiman elit menjadi prioritas utama, sementara daerah-daerah perkampungan dan kumuh tidak tersentuh, seperti Teluk Lenggung, Pungur yang masih mengkonsumsi air sumur sampai saat ini, padahal menurut hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan air di wilayah tersebut tidak layak konsumsi karena mengandung bakteriologi positif tinggi dan pH di bawah batas syarat. Sementara beberapa meter dari pemukiman warga berdiri instalasi pengelolaan air (IPA).

Banyaknya bunuh diri yang sekarang sedang merajalela karena merasa tekanan hidup yang tinggi, yang sulit untuk dijalani. Masihkan pemerintah tidak memperhatikan hak-hak dasar seperti air, pendidikan dan kesehatan? Bukankah rakyat tidak pernah menuntut sesuatu yang berlebihan? Mereka hanya membutuhkan terpenuhinya hak-hak mereka. Untuk menangis meratapi nasib pun kita akan berpikir karena kita akan mengeluarkan “air mata”. Sekali lagi, kita perlu berhati-hati dengan masalah air, sekali salah langkah, bukan nyawa saja yang tergadaikan, tetapi juga masa depan anak cucu.

Air, Sumber Kehidupan Dunia

Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.

Pada tingkat internasional, hak atas air yang telah diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan Novemeber 2002. Namun pada tanggal 19 Februari 2004 DPR telah mengesahkan Undang-undang Sumber Daya Air yang baru. Dalam UU yang baru ini beberapa pasal memberikan peluang privatisasi sektor pengendalian air minum dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu.

Menurut World Bank harga air di masyarakat di bawah “harga dasar” dan perlu dinaikkan dengan menerapkan mekanisme harga Full Cost Recovery/FCR (konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya). Sekarang di Jakarta sudah menerapkan mekanisme FCR. Contoh nyata saat pemerintah DKI masih mensubsidi tarif air karena tidak dinaikkan pada tahun 1998-2001, pemerintah DKI memiliki “utang” sekitar Rp.900 milliar kepada operator asing karena membebankan selisih Water Charge (imbalan air). Sekarang hal ini sangat terasa karena bagi orang berpenghasilan biasa, air PAM sudah tidak sanggup lagi untuk dibayar.

Pemakaian kata hak guna air, meski secara harfiah pengusaha hanya memiliki hak menggunakan, namun implementasinya hampir tidak ada bedanya hak milik karena air yang diusahakan kontrol, akses, dan penguasaannya ada pada mereka. Jangan sampai bencana kekeringan yang menelan ribuan korban jiwa di Gurun Sahel akibat air bumi (ground water) yang dipompa secara over explited adalah ilustrasi perlunya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

Air adalah komponen penyusun jasad makhluk hidup yang terbesar (lebih besar dari 80%), baik itu manusia, hewan, mapun tumbuhan. Apakah kita akan mengadaikan hidup kita kepada pengelolaan air oleh perusahaan transnasional (Multi National Corporation / MNC? Dimanakah letak tanggung jawab negara? Jangan sampai terbesit di hati rakyat, “apa masih ada negara?”.

Kenapa Tidak Berkaca dengan Bolivia ?

Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.

Air, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan dasar publik, sebagai kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi, pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Agenda privatisasi diberbagai negara menunjukkan fenomena monopoli baru dan harga yang meningkat beberapa kali lipat. Seperti yang terjadi di Manila dan Filipina, yang menaikkan tarif air hingga 500%. Bolivia merupakan salah satu contoh kasus privatisasi yang didektekan secara gamblang dan ternyata bertujuan untuk menaikkan tarif air masyarakat miskin (petani dan masyarakat pedesaan). Mereka adalah kelompok yang paling menderita karena tidak mampu membayar.

Penyediaan air minum di wilayah Jakarta pun jauh lebih buruk setelah diprivatisasi kepada PT Lyonaise dan PT. Thames. Hal ini bertolak belakang dengan asumsi World Bank, IMF dan ADB bahwa privatisasi bukan jawaban kinerja buruk pemerintah, dilihat dari indikator kualitas pelayanan air minum, target pertambahan pelanggan tidak mencapai ketentuan kontrak, target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah kinerja PAM Jaya.

Seperti ungkapan Vice President World Bank, Ismail Serageldin, “Perang di masa depan akan menyangkut air”, karena bisnis air ibarat bisnis minyak. Setiap orang menggunakan air sehingga menjadi pangsa pasar yang menarik. Inilah maksud dari perusahaan raksasa melalui lembaga keuangan international.

Masihkan kita melakukan privatisasi air? Yang jelas-jelas pada akhirnya akan membuat rakyat menderita. Dimanakah pemerintah sebagai instrumen negara dalam menyediakan pelayanan publik? Akankah kita “terjajah lagi” karena kebodohan kita? Melakukan kesalahan yang telah jelas-jelas dilakukan dan terbukti tidak mendatangkan kemaslahatan rakyat? Haruskan kita bertanya pada rumput yang bergoyang

Tanam Pohon Muliakan Air

Oleh : Ahmad Riyadi Umar
Bojonegoro, Jawa Timur.

Saya prihatin atas musnahnya hutan yang ada di negeri ini akibat penebangan liar. Di musim hujan terjadi bencana alam, dimusim kemarau terjadi kekeringan. Sebenarnya itu dapat dihindari jika kita peduli terhadap hutan atau pohon-pohon yang ada disekitar kita dan memuliakan air.

Bencala alam yang terjadi di Negeri ini bisa jadi peringatan bagi kita semua agar kita peduli dan memperhatikan alam. Banyaknya pembalakan hutan liat mengakibatkan tanah longsong. Hal itu karena air hujan yang turun tidak diserap oleh Hutan kita, sehingga menjadi tanah longsor.

Tanpa air hidup kita tidak akan bertahan lama, untuk itu mari kita muliakan air sebagaimana kita memuliakan diri kita sendiri. Air hujan yang turun harus mendapatkan tempat yang menjadi haknya.

Mari kita tanam pohon-pohon yang dapat menyerap air hujan, agar kita tidak kekurangan air. Kalau air hujan diserap pohon, maka tempat tinggal kita akan terhindar dari banjir dan bencana alam. (Surat Pembaca dimuat di Harian Jawa Pos, Rabu, 28 Maret 2007)

Air Akan Menjadi Barang Mewah

Oleh : Thomas Sutasman
Cilacap. Jawa Tengah.

Sedari sekarang kita sudah mulai merasakan kesulitan mendapatkan air bersih. Apalagi musim kemarau. Tanpa kita sadari, air lama kelamaan akan menjadi barang yang sangat mewah. Maksudnya, kita akan kesulitan untuk mendapatkannya karena barangnya yang langka atau harga yang mahal.

Tanda-tanda bahwa air akan menjadi barang yang mewah mulai kita rasakan. Pertama, hilangnya resapan air tanah di daerah penyangga karena banyaknya penebangan pohon yang membabi buta. Ditambah lagi dengan penciutan situ-situ yang berfungsi sebagai penampung air karena digunakan untuk pemukiman.

Kedua, pencemaran air yang semakin lama tidak tertangani secara serius. Polutan yang ada tentunya menjadi penyebab utama air tidak sehat untuk dikonsumsi. Ketiga, swastanisasi air. Air yang menguasai hajat hidup orang banyak hanya akan dikuasai oleh kelompok tertentu yang bisa memainkan pengelolaan air. Setiap orang berhak atas air. Dengan swastanisasi, setiap orang tidak diakui berhak atas layanan air.

Akhirnya, permainan harga oleh pengelola akan sangat mengancam kesejahteraan konsumen.
Jelaslah bahwa setiap warga negara sangat membutuhkan layanan air yang prima. Pengaturan pengelolaan air yang baik oleh pemerintah sangat diharapkan, baik dari undang-undang pengelolaan air, implementasinya, keadilan, dan pemanfaatannya. Apabila swastanisasi air terjadi, maka hal ini merupakan bentuk kegagalan pemerintah dalam mengelola kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Selain itu, diperparah juga oleh rendahnya kesadaran masyarakat kita untuk menjaga siklus mata rantai air dan kepedulian terpenuhinya air bagi masa depan. Untuk itu, mulai sekarang pengelolaan air perlu dibenahi. Jangan sampai air hanya menjadi bencana saja, namun dapat juga menjadi suatu rahmat.

Air Tidak Lagi Seperti Cahaya Matahari

Oleh : Muhammad Iqbal
Darmaga, Bogor.

Ketika SMP dulu, penulis diajari tentang Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di dunia ini. Secara garis besar, SDA dibagi dua, yaitu SDA yang terbatas dan tidak terbatas. Contoh SDA terbatas adalah bahan-bahan tambang, seperti batu bara dan minyak bumi, sedangkan contoh SDA tidak terbatas adalah udara, air, dan cahaya matahari.

Mungkin, dulu manusia benar-benar mudah mendapatkan air bersih tanpa perlu memikirkan tata cara regulasinya karena alam masih sanggup menetralisir air kotor dengan siklus air alami. Maka dari itu, manusia zaman dulu mengatakan air sebagai SDA tidak terbatas. Bahkan, pengusaha-pengusaha zaman dulu yang menggunakan air sebagai bahan baku menganggarkan biaya untuk mendapatkan air sebesar Rp 0,-.

Saat ini, jumlah manusia jauh lebih banyak dari zaman dulu ketika air masih menjadi SDA tidak terbatas. Volume air memang tidak berkurang, tapi kecepatan regulasi air dari air kotor menjadi air bersih lebih lambat daripada kecepatan regulasi air bersih menjadi air kotor. Gejala ini akan menimbulkan efek kurangnya pasokan air bersih jika dibiarkan terus.

Sudah waktunya untuk merombak pola pikir kita yang masih beranggapan bahwa air masuk ke dalam golongan SDA tidak terbatas. Air tidak lagi seperti cahaya matahari yang masih bebas digunakan tanpa perlu meregulasinya. Para pengusaha yang hidup di zaman ini harus berpikir selayaknya pengusaha zaman ini yang tidak lagi menganggarkan Rp 0,- untuk mendapatkan air, tapi biaya untuk meregulasi air tersebut juga diperhitungkan.

Jika kecepatan pembentukan air bersih dan kotor kembali stabil, semua pihak akan senang, bukan?

Membudayakan Kepedulian Terhadap Lingkungan Hidup

Oleh : Moh Erfan,
Ciputat, Tangerang.

Sering kita mendengar ungkapan bahwa “alam sudah marah” atau “alam sudah tidak berasahabat lagi” dari sebagian masyarakat. Serentetan musibah bencana alam seperti banjir, longsor, dsb merupakan akibat dari gejala alam tersebut yang tak sedikit menelan korban.

Hal ini merupakan faktor dari ulah prilaku manusia yang tidak manusiawi. Prilaku penebangan pohon secara liar menyebabkan air kehilangan tempat menyimpan diri sehingga berbagai bancana alam terjadi sekaligus ketersediaan air mulai berkurang. Tindakan seperti itu telah membunuh beribu-ribu masa depan anak bangsa serta menghancurkan tatanan ekosistem yang telah teratur.

Lingkungan hidup merupakan bagian dari alam yang tetap harus dijaga dan dilestarikan. Dengan demikian, kita telah menanam investasi besar bagi generasi kita untuk masa-masa yang akan datang. Sebab kita dituntut selalu memberikan yang terbaik bagi masa depan mereka dan tentu tidak menginginkan nasib yang telah menimpa kita harus diwariskan kepada anak cucu kita kelak.

Dengan cara pelestarian lingkungan hidup yang berkesinambungan, maka keseimbangan serta ketersediaan air untuk kehidupan dapat terjaga. sehingga alam mulai akrab dengan kita. Hal ini Tentu harus dimulai dari dari kita sendiri, kalau tidak Sekarang, kapan lagi?.
Perlu Pengelolaan Air Yang efektif, dan
berorentasi masa depan

Air merupakan faktor penting dalam kehidupan. Siapapun dan dimanapun masing-masing individu secara umum sangat membutuhkannya. Namun, masih terdapat unsur penguasaan atau privatisasi sumber-sumber air oleh lembaga tertentu yang sangat merugikan sebagian pihak dimana masyarakat sebagai korbannya.

Akhir-akhir ini, masyarakat petani mengalami keresahan karena “kelangkaan” air yang selama ini diyakini sebagai sumber kehidupan. Seperti di Jawa Tengah, lahan sawah banyak mengalami kekeringan karena kesulitan mendapatkan air, yang disebabkan sistem pengelolaan sumber-sumber air yang tidak merakyat.

Kemudian, dalam kepahitan hidup yang tengah dirasakan masyarakat saat ini, di sector air PAM sebagai lembaga pengelola air bersih juga diwarnai adanya privatisasi dengan business oriented, profit oriented sebagai landasan pengelolaannya. Adanya pencemaran air akibat pembuangan limbah pabrik, turut meresahkan masyarakat.

masalah air merupakan masalah yang menyangkut hajat hidup masyarakat, bangsa dan negara. Pengelolaan dan pengembangan sumber air yang berwawasan kebangsaan, sangat mempengaruhi masa depan bangsa. Bayangkan jika petani tidak mendapatkan air untuk kebutuhan pengairan, mereka akan gagal panen, kesejahterannya terancam dan bayangan hari esok yang lebih baik berganti penderitaan yang mendalam, atau air bersih untuk dikonsumsi, tubuh akan lemah bahkan jatuh sakit karena kekurangan cairan untuk proses pembakaran dalam tubuh. Maka aktifitas, kreatifitas akan berhenti sampai disitu. maka, perlu mereformasi manajemen pengelolaan sumber-sumber air yang didasarkan atas semangat demokrasi, demi tercapainya pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.

Antisipasi Penggunaan Air Secara Berlebihan

Oleh : Mohammad Erfan
Ciputat, Tangerang.

Manfaat air tidak lain sebagai pendukung sarana kehidupan perlu diperhatikan dalam penggunaannya. Keberadaannya sebagai karunia Tuhan seharusnya disyukuri dan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Rasa syukur itu tidak hanya berbentuk ucapan yang keluar dari mulut kita, tapi juga melalui serangkaian tindakan atau sikap arif dan bijak dalam menggunakan air, sesuai dengan standar kebutuhannya.

Seperti kita ketahui bahwa air merupakan sumber daya alam yang tak dapat diperbaharui. Pemanfaatan secara efektif dan efisien sangat penting dalam rangka mengantisipasi terjadinya penggunaan air secara berlebihan.

Demikian pula, tindakan atau sikap berlebih-lebihan itu sangat dilarang oleh agama karena termasuk dalam ketegori “isyraf”. Apalagi dalam masalah air yang sudah barang tentu menyangkut hajat hidup manusia, lingkungan secara umum. maka, perlu ada sarana pembinaan bagi masyarakat terhadap pemakaian air yang baik dan benar.

Peran Air, Refleksi atau Wacana?

Oleh : Cici Wardini
Tanah Sereal, Bogor

Air. Tiga huruf yang meski kelihatan sepele membawa dampak yang sangat besar baik bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Bayangkan jika dalam keadaan normal atau paling tidak dalam waktu tiga jam kita tidak meneguk air minum. Tidak pernah ada dalam sebuah demonstrasi terdapat sebuah aksi mogok minum. Jika boleh dikatakan renungkanlah bahwa saat ini air bukan lagi sebagai komoditi sumber daya alam yang dapat dengan mudah untuk kita dapatkan. Kelangkaan air telah melanda masyarakat baik di kota besar dan kecil serta pencemaran air merebak akibat industrialisasi.

Mengapa air kemudian menjadi hal yang langka saat ini? Perlukah dirombak pelajaran SD kita yang mengatakan bahwa air merupakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui? Lalu pertanyaannya sekarang adalah sampai sejauh mana kepedulian kita terhadap keberadaan air?

Dan bencana yang marak terjadi belakangan jika bukan karena kelalaian kita tentu paling tidak kita dapat meminimalisir bencana tersebut. Sebut saja kelalaian itu terhadap kurangnya kedisiplinan untuk tidak membuang sampah sembarangan, pembalakkan liar yang marak terjadi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab menyebabkan banjir yang melanda serta bencana longsor di beberapa daerah merupakan cerminan dari watak bangsa ini yang belum juga sadar akan makna air sesungguhnya. Dimana kemudian letak hukum berada?

Dilihat dari sudut kebijakan pemerintah, air yang semula ‘dinobatkan’ sebagai sumber daya bagi hajat hidup orang banyak yang mesti dilindungi oleh Undang-Undang kenyataannya saat ini tidak demikian. Swastanisasi air telah ditetapkan sehingga pihak swasta dapat bebas menguasai air. Air kemudian bukan menjadi komuniti publik yang semestinya mendapat perhatian serius oleh pemerintah. Apakah pemerintah lepas tangan atas semua yang seharusnya menjadi kewajibannya dalam menjalankan tugas? Masalah angkat tangan telah terbukti dengan adanya RUU BHP tentang pendidikan dimana pemerintah telah mengotonomikan pendidikan tersebut. Kembali pada konteks air, Lalu dimana keberadaan masyarakat terutama masyarakat awam dilihat dari sudut peran dalam dalam haknya?

Masalah air menjadi tanggung jawab kita semua sebagai warga negara Indonesia yang baik. Adalah hal mudah jika kita memulai sesuatu dengan hal yang kecil dahulu. Sampah yang menumpuk di sekitar batas bendungan ketika banjir melanda di Jakarta serta tumpukkan sampah yang ada di Bandung merupakan peringatan mimpi buruk agar kita mesti sesegera mungkin untuk mendisiplinkan diri. Agaknya peran yang komprehensif dan berkesinambungan perlu segera dilakukan oleh seluruh elemen baik itu pemerintah, swasta serta rakyat. Pemerintah harus memperhatikan segala aspirasi masyarakat di setiap pembuatan kebijakannya. Pengembangan masyarakat kemudian jangan hanya dijadikan wacana belaka ketika kemudian program secara bottom up menjadi perlu dilakukan.

Belum terlambat untuk memperbaiki segalanya menjadi lebih baik. Kita bisa menyuarakan aspirasi kepedulian kita dengan menjalin kerja sama yang baik dengan membangun sebuah organisasi yang peduli akan keberadaan serta peran air. Menyadarkan kekhilafan masyarakat selama ini dalam penggunaan air yang tentu harus didasari oleh filosofi yang benar atas dasar kepentingan umum. Ya, belum terlambat, jika kita memang benar-benar berniat untuk memperbaiki semuanya, moment untuk keberlanjutan air untuk masa depan telah kita genggam. Semoga!

16161

Air Tidk Butuh Uang

Oleh: Alfina Rahil Ashidiqi
Ciputat, Tangerang


Akankah manusia dapat bersikap sombong dan tidak membutuhkan adanya air? Dengan berkata lantang "kami, manusia tidak lagi membutuhkan air, karena teknologi kami sudah dapat menemukan penggantinya''. Jawabannya sangat mustahil dan nihil! Sampai akhir zaman pun tak akan ada manusia satupun dibelahan bumi ini akan berani mangatakan seperti itu. Hanya orang-orang bodoh sajalah yang akan berani jauh dari air.

Dari hal itu, lahir pertanyaan apakah manusia yang tergantung pada air bersahabat dengan air? Sebelum menjawab, marilah kita tengok bagaimana sebagian fakta di lapangan contohnya di daerah Jakarta tentang kondisi air itu sendiri. Ternyata menurut Budirama Natakusumah, selaku Kepala Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta menyatakan di sebuah media masa bahwa hampir seluruh sumber air di Jakarta sudah tercemar bakteri yang berasal dari sampah organik dan kotoran manusia. Dengan keadaan air yang memprihatinkan, sebagai manusia yang tergantung kepada air.

Bahkan menganggapnya salah satu sumber kehidupan. Dan tanpanya makhluk hidup akan mati. Namun apa balasan manusia sebagai konsumer terbesar air diantara makhluk hidup yang lain atas besarnya jasa air? Apakah manusia menjaganya dan memahaminya? Faktanya tidak! Malah sebaliknya kedzaliman yang ia terima. Sungguh kejam dan bodohnya manusia! Betapa tidak, manusia tahu bahwa semua makhluk memerlukan air, tetapi kenapa berbalik mengusiknya. Aneh memang! Bukankah itu sama saja manusia membunuh dirinya sendiri

Untuk mengambil solusi pintas, munculah suatu pertanyaan. Manusia mana yang kejam, bodoh dan bersalah itu? Namun pertanyaan diatas lumpuh atas bijaknya pernyataan. Daripada kita pusing-pusing mencari oknum tersebut. Lebih pentingnya kita menatap masa sekarang dan yang akan datang namun tidak pula melupakan peristiwa yang lama begitu saja tanpa ada tindakan. Hanya saja, peristiwa yang lalu itu dijadikan pelajaran. Karena kasus air bukan merupakan kasus perorangan yang cepat selesai dengan putusan hakim. Tetapi lebih dititikberatkan kepada persoalan seluruh masyarakat dan bangsa atas kesadaran pentingnya air. Untuk itu tidak akan berhasil jika hanya segelintir orang yang sadar akan air sebagai sumber kehidupan seluruh makhluk. Dan memperbaiki lingkungan kehidupan alam yang mulai rusak ini.

Lalu bagaimana solusi agar penyebaran pencemaran air dapat ditanggulangi?. Sebenarnya solusi itu sangat klasik, sepele dan sudah sejak dahulu digaungkan oleh para pakar lingkungan. Yaitu kesadaran masyarakat membuang sampah di tempatnya, tidak merampas tempat drainase dan melindungi lingkungan alam sekitar ini. Dari hal yang sangat sepele dan kecil itulah berakibat besar bagi kelangsungan hidup manusia dan juga makhluk yang lain. Seperti tercemarnya air, tersumbatnya air yang menyebabkan baniir yang terjadi pada awal bulan februari lalu di Jakarta dan akhir-akhir ini melanda berbagai daerah di negara ini.
Untuk itu pada peringatan hari air sedunia tahun 2007 ini. Sebagai manusia yang mengaku bersahabat dengan air, aplikasikanlah kesadaran pada diri sendiri begitu urgennya keberadaan air dengan pencegahan pencemaran air.

Hikmahnya bukan hanya untuk pribadi manusia itu sendiri, tetapi juga untuk masyarakat, bangsa dan kehidupan alam di masa mendatang. Air hanya minta untuk dipahami dan dihargai keberadaannya. Sungguh tak lebih dari itu, apalagi imbalan jasa seperti uang. Tak butuh ! Sulitkah melakukan itu.?

Selamatkan Air Untuk Kehidupan

Oleh : Christo Korohama
Kayu Manis-Jakarta.


Siapa yang bisa menyangkal peran air bagi kehidupannya? Tak satupun dari makhluk di kolong langit ini dapat hidup tanpa air. Sejak awal mula kehidupan, air selalu menjadi penopang kehidupan manusia. Air selalu mengambil peran signifikan dalam pertumbuhan peradaban manusia. Gerak air yang selalu beriringan dengan peradaban justru membuat kita tidak pernah menganggapnya penting. Air terlanjur dilihat sebagai sesuatu yang ada dan harus ada dalam gerak peradaban manusia.

Air terlanjur dilihat sebagai bagian dari rutinitas kehidupan yang digunakan untuk kebutuhan makan, minum, mandi, dan pertanian dan lainnya. Namun, berapa banyak di antara kita yang tahu dan peduli bahwa salah fungsi utama air adalah menjaga kesimbangan suhu bumi? Tanpa air, bumi hanya akan menjadi sebuah bola panas dan massif. Pada titik itu, masih adakah kehidupan di bumi ini?

Negeri ini adalah salah satu dari 10 negara yang memiliki kekayaan air terbesar. Meski demikian krisis air tak dapat dihindari di negara ini dalam beberapa tahun yang akan datang sebagai akibat dari kesalahan pengelolaan lingkungan. Bencana yang datang silih berganti akibat kesalahan pengelolaan lingkungan tak pernah membuat kita sadar.

Sebagai sebuah ilustrasi, pulau Jawa berdasarkan kajian Bappenas memiliki kebutuhan air per kapita per tahun adalah 2000 meter kubik sementara ketersediaan airnya hanya 1750 meter kubik per tahun. Jumlah ini akan terus menurun hingga mencapai angka 1.200 meter kubik per kapita per tahun pada tahun 2020 (Antara, 17-03-07).Realitas ini tentu mengerikan, tapi (lagi-lagi) kita tak pernah menyadari hal tersebut. Tapi, berapa banyak di antara kita yang peduli pada kenyataan ini?

Kita tidak pernah sadar dan terpanggil untuk melakukan sebuah tidankan konservasi yang pada gilirannya dapat melindungi air yang menjadi sumber kehidupan, tak hanya bagi kita, namun juga bagi anak-cucu kita nantinya. Kita pun nyaris tak peduli ketika beberapa kawasan yang menjadi daerah resapan air disulap menjadi villa, hotel, pusat perbelanjaan yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Ketika air menjadi langka dan mengalir jauh dari kehidupan kita, tentu kita pun akan berhadapan dengan sebuah kenyataan yang mengerikan tentang runtuhnya sebuah kebudayaan dan tentu saja kehidupan. Jika demikian, tidakkah kita tergerak untuk berbuat sesuatu untuk menyelamatkan air dan kedupan ini, minimal dari lingkungan terdekat kita? Ataukah kita ingin menunggu hingga air membalaskan dendam karena kita tak pernah mau bersahabat dengannya?

Hemat Pangkal Selamat

Oleh : Harjito
Sleman, Yogyakarta.

"Akan tiba masa, kata tak akan ada lagi...."Bait lagu yang dilantunkan mendiang Chrisye sangat menyentuh kesadaran kita bahwa tak ada yang kekal di alam fana ini. Apabila frase "kata" ini adalah air (akan tiba masa, air tak akan ada lagi....) maka air yang sekarang ini sangat mudah diperoleh dan mata air masih deras mengalir akan berubah menjadi air mata tangisan anak cucu yang kesulitan mencari air bagaikan mencari oase di gurun pasir.

Ledakan pertumbuhan penduduk dan arus peningkatan urbanisasi menyebabkan peningkatan permintaan air minum. Permintaan yang terus menerus menyebabkan ketersediaan air terbatas. PBB memperkirakan lebih dari satu juta orang tidak mendapatkan air minum yang layak. Jumlah air di planet kita ini sangat banyak, tetapi 97,5% adalah air laut yang tidak bisa dikonsumsi. Sedangkan dua pertiga dari 2,5% adalah es yang berada di Kutub Utara dan Kutub Selatan, sisanya adalah air tanah/tawar yang dapat diminum.

Ketersediaan air yang terbatas berbanding terbalik dengan pencemaran air yang semakin menjadi-jadi dan penggundulan hutan. Contoh nyata adalah Banjir Aceh yang jelas menunjukkan penebangan hutan yang membabi buta pasca tsunami 2004 berimplikasi hilangnya lahan penyimpan air. Disebabkan faktor kemiskinan dan keterpaksaan di kampung-kampung masih lazim menjadikan sungai sebagai Tempat Pembuangan Sampah, dari unggas mati, sampah industri, hingga sungai sebagai jamban bersama.

Keberadaan Toilet, menurut Prof. T. Jacoeb, merupakan representasi (yang relevan dan signifikan) kemajuan sebuah masyarakat atau peradaban. Ada ketimpangan mendasar dari pembangunan kita, mall menjamur dimana-mana akan tetapi tidak diimbangi kepedulian lingkungan. SBY (Presiden Yudoyono) beberapa waktu lalu menegaskan bahwa ancaman wabah penyakit lebih ganas dan berbahaya daripada peperangan.Ketimpangan juga terjadi bagaimana kita memperlakukan air. Manusia modern tidak perlu bersusah payah menimba air ataupun memikul air dari mata air pegunungan.

Cukup dengan menekan saklar pompa air maka air tanah akan deras mengalir, dan semudah memperolehnya semudah pula menghambur-hamburkannya. Padahal agama dan budaya kita menasehati kita bahwa boros/mubadzir adalah saudara setan, hemat pangkal kaya, tentunya hemat pangkal selamat dan bukan hanya semoga. Amien. Air adalah sumber segala sumber kehidupan, tidak ada kehidupan tanpa air. Mari hentikan menghambur-hamburkan air. Selamat Hari Air Sedunia, 22 Maret 2007.

Kebutuhan Air Bersih, Impian Setiap Orang

Oleh : Dewi Marolop Siagian
Medan, Sumatera Utara

Bila seandainya, diadakan survei kepada setiap orang di berbagai wilayah di Indonesia, dengan pertanyaan sebagai berikut, " Apakah anda memiliki impian untuk memiliki segala sesuatu dengan kualitas yang baik, dalam hidup anda?, saya yakin 100% jawabannya adalah pasti mendambakannya. Jawaban ini terlepas dari tingkat kesulitan setiap orang untuk mencapainya. Disadari atau tidak, tidak dapat dipungkiri salah satu impian itu adalah kebutuhan akan air bersih. Setiap melakukan aktivitas sepanjang hari, setiap orang pasti membutuhkannya.

Kebutuhan akan air bersih bermanfaat untuk kelancaran kerja, sel-sel dalam tubuh, membuang racun dalam tubuh, untuk mandi, dan untuk mempercantik diri. Air bersih identik dengan jernihnya kondisi air itu. Maka tidak heran bila memandang kejernihan air, baik ditaruh di dalam gelas, maupun di alam bebas (di danau, sungai atau di laut) hati akan tentram, dan pikiran pun tenang.

Realitanya, saat ini sulit untuk memperoleh air bersih. Contohnya adalah air yang dihasilkan oleh PAM (Perusahaan Air Minum). Akhir-akhir ini terlihat keruh. Apabila air tersebut digunakan untuk minum. Air tersebut bila diendapkan, akan terlihat pada dasar endapan air terdapat kotoran air seperti pasir-pasir halus atau debu. Hal ini membuat kecewa para pelanggannya. Selain itu juga terdapat bencana alam, dan pengrusakan alam di tanah air kita ini. Hal ini seolah-olah memperjelas sulitnya memperoleh air yang bersih saat ini. Bila hal ini terus berlanjut, memperoleh air bersih tinggal impian semata.

Kesadaran diri, sangat penting dalam menjaga kelestarian alam. Tidak ada gunanya dibuat kampanye tentang air, mendengar berita tentang kelangkaan air akibat kerusakan alam, kecewa dengan sebuah perusahaan air minum, yang kita pikir dapat menjadi solusi untuk memperoleh air bersih. Bila kita hanya sekedar tahu, mendengar, berkomentar, tetapi tidak menjadi seorang pelaku yang benar, mustahil impian tersebut akan terwujud. Pelaku yang benar adalah seorang yang bertindak, didasari atas keprihatinan terhadap suatu harapan yang tidak menjadi kenyataan, untuk kepentingan bersama dan terjaganya kelestarian alam.

Ini dapat dilakukan dengan hal-hal yang kecil, misalnya membuat penghijauan di sekitar tempat tinggal, membuang sampah pada tempatnya, menggunakan Air RAHMAT, yaitu berupa larutan sodium hypochlorite ke dalam air, bila diperlukan, dan memasak air sampai mendidih. Seorang pelaku yang benar tidak melakukan hanya dalam waktu seminggu, sebulan, setahun, tetapi melakukannya seumur hidup. Bila hal ini dilakukan oleh setiap orang sepanjang umur hidupnya, tidak mustahil impian untuk memiliki kualitas hidup yang baik, pasti tercapai. Dan alam pun ikut bergembira.

Saatnya Bersahabat dengan Air

Oleh : Iradatul Aini,
Ciputat, Tangerang.

Karena tiada hari tanpa air, tersedia di mana-mana, air menjadi hal biasa saja. Tak jarang kita malah menghamburkannya. Tapi, apa yang kita rasakan bila terjadi kekeringan dan pencemaran? Betapa berharganya seteguk air bersih. Pun bila terjadi banjir bandang dan longsor di mana-mana. Tak hanya berbagai penyakit mewabah, tapi juga banyak hunian dan prasarana umum—seperti jalan, jembatan, jaringan pengairan, dsb.—rusak tak karuan. Bahkan, nyawa manusia pun jadi korban.

Lantas, kita pun bergumam, “Alam tidak mau bersahabat lagi dengan kita.” Pernahkah kita bertanya, sudah bersahabatkah kita dengan alam, khususnya air? Apa yang kita lakukan kepada alam akan kembali kepada kita. Kita melemparkan sampah secara sembarangan, dan alam membalas kita dengan berbagai penyakit. Kita kotori udara, alam menjawab kita dengan polusi. Kita sumbat tanah resapan air dengan gedung-gedung beton, alam menyapa kita dengan banjir. Intinya, keseimbangan alam dan ketersediaan air bersih amatlah tergantung pada kesediaan kita untuk ramah lingkungan dan bersahabat dengan alam.

Di Hari Air Sedunia ini, saatnya kita memilih sadar untuk mensyukuri anugerah air daripada sabar menekuri musibah karena air. Tentu dengan meningkatkan dua kesadaran penting: pertama, air sungguh tek ternilai harganya. Konon, lebih dari 70 persen komponen tubuh kita terdiri atas air, karenanya membutuhkan banyak air. Kandungan air dalam otak mencapai 83 persen, jantung 79 persen, paru-paru 80 persen, tulang 22 persen, dan darah 90 persen. Air pun ternyata bermanfaat untuk meluruhkan racun dan berbagai endapan di dalam tubuh, karena itu, belakangan dikenal terapi air untuk mengatasi beberapa penyakit.

Kedua, ketersediaan air berkualitas dipengaruhi oleh kelestarian dan keseimbangan lingkungan. Dan semua itu amatlah tergantung pada sikap dan perilaku kita—kesadaran kita, gaya hidup kita, pola pengaturan kebersihan, dan tak kalah penting, usaha terus-menerus “penghijauan” yang tak hanya mengasrikan lingkungan, tapi juga menghindari kekeringan sekaligus mencegah banjir dan longsor. Selamat Hari Air Sedunia 2007.

Menghidupkan Budaya Hemat Air

Oleh : Maximus Ali Perajaka
Pesanggrahan, Jakarta.

Planet bumi kita kaya akan air. Para ahli memperkirakan dunia kita memiliki tidak kurang dari 1.360.000.000 km3 (326,000,000 mi3) air. Dari total volume tersebut, sekitar 1.320.000.000 km3 (316,900,000 mi3) atau sebesar 97,2 persennya merupakan lautan. Selebihnya, 25.000.000 km3 (6,000,000 mi3 ) atau sekitar 1.8 persennya merupakan air tanah, 250.000 km3 merupakan air tawar di danau dan sungai, dan sisanya 13.000 km km3 (3,100 mi3 ) atau sekitar 0.001 persen merupakan air yang terkandung dalam atmosfer.

Akan tetapi, dari volume air yang begitu besar itu tidak seluruhnya dapat digunakan oleh manusia untuk menunjang kelangsungan hidupnya. Sebab hanya air tanah dan separuh dari volume air tawar yang dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga. Yang lebih parah lagi, volume air bersih itu mengalami kemerosotan yang amat cepat akibat kerusakan hutan, pencemaran lingkungan oleh limbah industri dan rumah tangga, penduduk dunia bertambah banyak, dan meningkatnya standar hidup sehingga tingkat konsumsi air pun meningkat.

Kondisi kritis tersebut mendesak PBB untuk mencanangkan tahun 205 hingga 2015 sebagai ’Dekade Air’. Pencanangan ‘Dekade Air’ oleh PBB memang bukan suatu kebijakan yang mengada-ada. Dari serangkaian penelitian ilmiah diketahui bahwa pemakaian air telah melonjak enam kali lipat dalam era 100 tahun terakhir. Akibatnya, dalam periode tersebut sebanyak 20 persen dari total volume air bersih di bumi, ludes, sementara harga air bersih melonjak lebih dari dua kali lipat. Masalahnya tidak cuma itu. Dari masa ke masa, ternyata distribusi air bersih menjadi kian timpang.

Penduduk miskin dari masa ke masa kian sulit mendapatkan air bersih. Tercatat, pada akhir decade 1980-an sekitar satu dari sepuluh penduduk dunia tidak memiliki akses akan air bersih. Tapi, pada awal dekade 2000-an, angkanya berubah menjadi satu dari enam penduduk dunia tak mendapatkan air bersih. PBB memperkirakan bahwa jika tren tersebut tidak dihentikan maka pada beberapa tahun ke depan sekitar 3,3 juta penduduk dunia akan mati setiap tahunnya akibat tidak kebagian air bersih.

Bahkan, PBB juga memproyeksikan bahwa pada tahun 2050 antara dua hingga tujuh milyar manusia akan mengalami kekurangan air bersih. Fenomena kelangkaan air secara global sebagaimana digambarkan di atas semestinya menggugah setiap insan Indonesia –sebagai bagian dari masyarakat global- untuk bertindak lebih bijak terhadap lingkungan alam.

Sudah saatnya manusia Indonesia tidak seenaknya merambah hutan, membuang sampah dan limbah yang dapat mencemarkan air. Lebih dari pada itu, setiap manusia Indonesia hendaknya mengembangkan budaya hemat air yaitu menggunakan air sesuai dengan kebutuhan saja. Ya, hanya lewat cara-cara tersebut kita dapat menyelamatkan diri dari bahaya kelangkaan air bersih yang lebih parah lagi.***

Kaum Wanita, Anak-Anak dan Hak Atas Air

Oleh : Maximus Ali Perajaka
Pesanggrahan, Jakarta.

Setiap tahun jutaan orang di dunia –umumnya wanita dan anak-anak- meninggal akibat tidak dapat mengosumsikan air yang sehat. Mengapa wanita dan anak-anak menjadi korban utama dari krisis air bersih? Dalam bukunya, Inside The Third World –First Edition (1993), Paul Harrison menyatakan bahwa potret kemiskinan di negara-negara berkembang dapat dilihat secara kasat mata ketika kaum wanita dan anak-anak berjuang untuk mendapatkan setetes air bersih. Kaum wanita dan anak-anak, demikian Harison, telah menjadi korban utama krisis air.

Mengapa? Sebab, di hampir seluruh masyarakat tradisional di dunia, berlaku pembagian tugas yang amat tegas antara kaum pria dan wanita serta anak-anak. Pada umumnya, kaum pria dewasa bertugas untuk mencari nafkah di luar rumah. Sementara kaum wanita dan anak-anak mendapat tugas khusus untuk mengurusi rumah tangga. Salah satu urusan rumah tangga yang paling menyita perhatian dan tenaga kaum wanita dan anak-anak yakni mengumpulkan atau menimba air bersih bagi keluarga. Melalui peran khusus seperti disebutkan di atas, tak bisa dipungkiri bahwa atas cara tertentu air bersih ‘menindas’ kaum wanita dan anak-anak.

Di kawasan gersang seperti di provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya, sudah menjadi cerita lumrah bahwa kaum wanita dan anak-anak saban hari berjalan kaki beberapa kilometer untuk menimba air bersih. Seringkali terjadi, anak-anak tidak bisa datang ke sekolah karena dipaksa oleh orangtuanya untuk menimba air bersih. Tidak jarang pula terjadi, para wanita yang melakukan perjalanan jauh untuk mendapatkan air bersih melalui tempat yang sepi, menjadi korban dari tindak kriminalitas seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, bahkan pembunuhan.

Beberapa contoh kasus di atas memperlihatkan betapa hak untuk mendapatkan air bersih merupakan suatu hak yang penting, sama pentingnya dengan hak-hak asasi lainnya seperti hak untuk mendapatkan makanan, hak untuk mendapatkan pekerjaan dan hak untuk memiliki kedudukan yang sama di bawah hukum. Memang, belakangan ini bangsa kita berhasil menelorkan sejumlah produk hukum yang bertujuan memberikan perlindungan maksimal bagi kaum wanita dan anak-anak.

Akan tetapi, belum ada satu produk hukum pun yang mengatur soal hak rakyat -termasuk kaum wanita dan anak-anak- atas sumber daya alam. Padahal, pengaturan mengenai hak atas sumber daya alam –termasuk air (bersih) – akan mempermulus proses perlindungan martabat dan peningkatan kesejahteraan rakyat, tak terkecuali kaum wanita dan anak-anak.

Nah, sebelum produk hukum yang mengatur hak rakyat atas sumber daya alam (air bersih) diterbitkan, semua kita hendaknya tergerak untuk menanamkan kesadaran bagi seluruh warga bangsa ini bahwa mendapatkan air bersih merupakan hak dari setiap manusia. Lebih daripada itu, kita berharap pemerintah pun semakin berjuang untuk menata ekosistem dan mengelola sumber daya alam air secara baik sehingga kebutuhan rakyat Indonesia akan air bersih dapat terpenuhi secara layak.

Air Titipan Anak Cucu

Oleh : Lina Naibaho
Medan, Su,atera Utara

Dua pertiga dari tubuh manusia tersusun oleh air. Seperti halnya juga bumi yang dua pertiganya terdiri dari air. Ini artinya air salah satu elemen yang sangat penting bagi kehidupan. Dapat dibayangkan apa jadinya bila ketersediaan elemen penting ini semakin langka.

Ya.. memang jumlah air di bumi ini tidak akan berkurang, ataupun bertambah. Hanya saja air berada dalam komposisinya masing-masing, yaitu air laut, es dan salju, air tanah, air udara, air sungai dan danau. Dan, yang bisa dimanfaatkan langsung demi kelangsungan hidup manusia hanyalah fresh water, yaitu air tawar di sungai dan danau.Karena itu, sumber daya air mempunyai keterbatasan dalam ketersediaannya.

Namun, disayangkan sekali kalau ketersediaan air ini diabaikan. Baik itu dengan pemborosan air di rumah tangga, maupun industri. Ketersediaan air memang semakin terancam habis.
Coba bayangkan jika sumber air habis. Apakah kita harus berharap pada air hujan? Atau harus susah-susah menyuling air laut, yang memang air paling banyak di bumi ini? Malang sekali nasib kita jika hal itu sampai terjadi.

Karena itu, ada baiknya lebih dini kita peduli dengan kelestarian air. Pakailah air sesuai kebutuhan saja. Jangan pernah sia-siakan air. Dan sudah sepantasnyalah kita beranggapan kalau air tidak pantas dihabiskan hari ini saja. Karena air merupakan harta titipan dari anak cucu, berarti harus dipelihara. Sebuah tanggungjawab moral bagi kita untuk menjaga warisan agar layak waris. Selamat hari air sedunia!

Selamatkan Air Kita

Oleh : Lina Naibaho
Medan, Sumatera Utara.

Nobody needs no water. Ya, semua orang memang butuh air. Setiap orang, paling tidak membutuhkan lima liter air setiap harinya. Tanpa air, memang tak akan ada kehidupan.
Tapi, disayangkan sekali ketika banyak orang kurang peduli terhadap ketersediaan air. Menyia-nyiakan air dengan memakai melebihi kebutuhan. Seolah-olah manusia tidak butuh air. Padahal, setiap manusia berkepentingan terhadap air.

Memang, kita membayar setiap tetes air yang sampai di bak mandi, tapi bukan berarti bisa sekenanya mengkonsumsi air tanpa batas. Memang pemerintahlah yang mengelola air, agar bisa tersalurkan ke masyarakat. Tapi bukan berarti tanggungjawab akan tersedianya air, hanya tugas pemerintah. Sebab, sesungguhnya air mempunyai keterbatasan juga. karena itu, jika semua pihak tak bisa peduli, tetap saja berkemungkinan untuk habis.

Mari bayangkan jika sumber air habis. Apakah kita harus berharap pada air hujan? Atau harus menyuling air laut? Malang sekali nasib kita jika hal itu sampai terjadi.

Pantaslah sedini mungkin kita melestarikan air. Karena pada hakekatnya air adalah titipan anak cucu kita, berarti harus dipelihara. Sebuah tanggungjawab moral bagi kita untuk menjaga warisan agar layak waris.

Bumi Butuh Air

Oleh : Lina Naibaho
Medan, Sumatera Utara.

Semua orang butuh air. Sedikitnya, setiap orang butuh lima liter air setiap harinya. Dua liter untuk kebutuhan minum, tiga liter lagi untuk kebutuhan lainnya. Bumi memang tidak bisa hidup tanpa air.

Namun, sangat disayangkan kalau masalah keberlangsungan air kurang kita perhatikan. Memakai air melebihi kebutuhan, mencemari air sungai dengan zat-zat kimia, dan lain-lain. Seolah-olah kita tidak butuh air. Padahal, setiap manusia berkepentingan terhadap air.

Memang kewajiban pemerintahlah untuk mengelola air, agar bisa tersalurkan ke masyarakat. Tapi bukan berarti tanggungjawab akan tersedianya air, dibebankan kepada pemerintah saja. Memang, masyarakat membayar setiap tetes air yang sampai di bak-nya, tapi bukan berarti setiap orang sekenanya mengkonsumsi air tanpa batas. Sebab, sesungguhnya air mempunyai keterbatasan juga. karena itu, jika dikonsumsi tanpa batas, tetap saja berkemungkinan untuk habis.

Banyak cara melestarikan air. Bagi masyarakat seperti kita, bisa dengan mempergunakan air sesuai kebutuhan. Atau dengan mematikan kran air bak mandi selesai mandi, itu sudah wujud nyata dalam melestarikan air. Dan jika benar Anda membutuhkan air setiap harinya, cobalah menanam sebatang pohon di pekarangan rumah Anda hari ini. Sebatang pohon, bisa menyimpan ribuan liter demi liter air di akar-akarnya kelak. Yang paling penting adalah melaksanakan segala kepedulian dalam tindakan nyata. Jadi, tunggu apa lagi. Selamat hari air sedunia!

Air Itu Makhluk Hidup

Oleh : Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Sebelum membaca buku “The Secret Life of Water”, mungkin kita tidak percaya jika air adalah makhluk hidup. Itulah kesimpulan dari Dr. Massaru Emoto, si penulis buku. Setelah lama melakukan riset terhadap air, Dr. Massaru menyimpulkan, bahwa air ternyata mampu menghasilkan kristal-kristal yang disesuaikan dengan kondisi seseorang saat menghadapi air tersebut.

Jika ekspresi seseorang sedang bahagia, ceria, dan penuh cinta kasih sebelum mengkonsumsi air, maka sesungguhnya molekul-molekul dalam air itu akan mewujud dalam kristal-kristal yang cantik. Bahkan bila sebelum diminum air itu dibacakan doa-doa, niscaya air itu akan berguna sebagai penyembuh.

Sebaliknya bila yang sebelumnya ditangkap oleh air dari seseorang di hadapannya adalah sesuatu yang negatif, seperti marah, dendam dan bermuka muram, maka kristal yang terbentuk pun akan buruk. Dan air seperti itu tidak mungkin berfungsi menyembuhkan.

Artinya air juga makhluk yang bernyawa. Tapi dengan jiwa yang sensitif. Tidak sekedar cairan kimiawi yang mati. Di mana dia mampu memposisikan dirinya sesuai dengan kondisi kehidupan yang membentuknya.

Sebenarnya Allah telah jauh-jauh hari memberitahukan pada kita tentang keistimewaan air. Tapi kita tidak pernah menyadarinya. Dalam Al-Qur`an Allah berfirman: ”Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi itu keduanya dahulu suatu yang padu. Kemudian kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapalah mereka tiada juga beriman (QS Al-Ambiya` 21:30).

Dari situ akhirnya saya tersadar. Jika selama ini kita boros air, merusak tempat resapannya, mengganggu wadahnya untuk mengalir, mencemarinya, dan memanfaatkannya untuk hal-hal yang negatif, berarti sama saja kita menyiksa atau bahkan membunuh makhluk bernyawa itu. Dan kita tidak hanya berdosa pada air, melainkan juga pada Tuhan.

Seharusnya pemahaman itulah yang kita berikan pada para perusak alam, dan para penyalahguna air. Sebab bila manusia masih bermuka penuh amarah dan kebencian ketika memperlakukan air, maka air pun akan mewujud dalam bentuk yang buruk. Seperti banjir, atau keengganannya untuk bersahabat dengan manusia.

Friday, March 30, 2007

Air Dalam Tanda Tanya

Oleh : Edi Yanto
Ciputat, Tangerang.


Air tidaklah menjadi air yang dulu, memenuhi kebutuhan manusia. Namun, dengan air kini terjadi permusuhan atau bahkan pembunuhan. Kekurangan gizi di mana-mana yang disebabkan kurangnya air bersih untuk bisa dikonsumsi saat ini oleh masyarakat kecil, dari pelosok desa sampai ke kota merasakan manfaat air dan juga disadari dengan air akan menimbulkan berbagai macam problema yang bisa menyebabkan kematian. Tetapi mengapa?

Mungkin sekarang kita bisa memakai air dengan sesuka hati, mungkin sekarang kita bisa minum air bersih dengan leluasa, mungkin sekarang kita bisa mandi dengan seenaknya. Tetapi ingat, selama bumi masih berputar dan kitalah sebagai pemeran utama dalam kehidupan air. Yang patut kita sadari, pada suatu saat air akan marah kepada kita, suatu saat air akan benci kepada kita, suatu saat air akan menjahui kita. Lantas bagaimana manusia sebagai pemeran utama dalam kehidupan air? Akankah hal ini akan terjadi pada kita?

Kepada siapakah yang akan kita salahkan? Apakah mereka yang men-Tuhankan uang? Apakah mereka yang man-Dewakan jabatan? atau bahkan kepada mereka yang hanya duduk dikursi?
Apakah mereka semua yang akan kita salahkan?

Berangkat melalui kesadaran, air yang tanpa arti kini jadi sorotan massa, dari berbagai problema tentang air, dari berbagai macam masalah tentang air. Pada hari air sedunia ini, marilah kita sadar akan air, belajar tentang air, baik dari manfaat, kegunaan, dan mengambil hikmah dari apa yang telah diperbuat oleh air serta kerusakan yang telah diakibatkan oleh air.

Berkomunikasi dengan air

Oleh : Sri Kartika Wijaya
Bogor, Jawa Barat

Saudaraku, pernahkah kita berkomunikasi dengan air yang menjadi salah satu kebutuhan utama kita setiap hari? pernahkah kita merenungi filosofi keberadaan dan kekuatan air itu sendiri? Dr. Masaru emoto dalam bukunya True Power of Water mengungkapkan bahwa air -yang semata-mata kita anggap 'hanya' benda mati- ternyata mampu merespon semua perlakuan yang diberikan manusia terhadapnya.

Jika kita berikan kata-kata indah dan pujian akan tertangkap bentuk kristal yang indah berkilauan pada kamera. Tapi jika yang kita berikan adalah kata 'bodoh' misalnya, kamera hanya akan mengabadikan kristal yang hancur tak berbentuk. Sungguh hal itu membuktikan bahwa air mampu melakukan 'komunikasi'. Air memiliki naluri dan kekuatan untuk merespon semua perlakuan kita terhadapnya.

Marilah kita merenung, apakah banjir yang melanda ibukota beberapa saat yang lalu adalah salah satu bentuk ekspresi air terhadap manusia? Dengan caranya sendiri, air memberikan protes untuk semua perlakuan semena-mena manusia. Mungkin perlakuan kita kurang bijak. Mungkin kita memang kurang cerdas untuk menangkap pesan yang ingin disampaikan oleh air. Pesan untuk lebih berlaku adil pada alam. Tidak pernah ada kata terlambat.

Mulailah berkomunikasi dengan berlaku bijak pada alam, bijak pada sampah, bijak pada penggunaan air. Niscaya refleksi keindahan kristal air tidak hanya akan bisa diterjemahkan oleh kamera, tetapi juga diterjemahkan pada kenyamanan hidup manusia sebagai bentuk persahabatan antara manusia dan air. Kepada para air, Selamat Hari Air Sedunia!

Thursday, March 29, 2007

Kegembiraan dan Kesedihan Air

Oleh : Muhammad Mukhlisin,
Ciputat, Tangerang.

Profesor Masaru Emoto, seorang peneliti dari Hado Institute di Tokyo Jepang, pada tahun 2003 Emoto menemukan bahwa partikel kristal air terlihat menjadi "indah" dan "mengagumkan" apabila mendapat reaksi positif disekitarnya, misalnya dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Namun partikel kristal air terlihat menjadi "buruk" dan "tidak sedap dipkitang mata" apabila mendapat efek negatif disekitarnya, seperti kesedihan dan bencana. Lebih dari dua ribu buah foto kristal air terdapat didalam buku Message from Water (Pesan dari Air) yang dikarangnya.

Meskipun pendapat Profesor
Masaru Emoto diatas masih kontroversial, namun setidaknya kita dapat memadukan rasionalitas logika kita mengenai air disekitar alam kita dengan penelitian diatas. Coba sejenak kita renungkan, air yang dirawat dalam suatu kolam renang, yang setiap pagi dibersihkan dari berbagai macam sampah dan dijaga rapi pemakaiannya. Yang nampak terlihat adalah gambaran keindahan, kesejukan dan kesegaran air.

Pantaslah jika banyak orang yang menginginkan berenang disitu. Tetapi jika kita lewat dalam suatu lokasi perindustrian, coba sedikit kita amati bagaimana keadaan air disekitar lokasi tersebut. Warna hitam pekat, bau menyengat dan yang lebih parah lagi dengan sampah-sampah yang bergenangan dimana-mana. Apakah kita masih mau berenang diair bak racun tersebut, ikan saja tidak mau apalagi manusia.

Yang paling penting dari gambaran diatas adalah bagaimana kita sebagai manusia yang notabene sebagai konsumen isi alam bisa menjaga kelestarian alam terutama air. Karena yang membutuhkan air bukan hanya kita saja tapi anak cucu kita nantinya juga akan membutuhkan setetes kehidupan air. Coba bayangkan bagaimana nasib anak cucu kita nantinya jika tanpa air. Apakah tega jika nantinya melihat anak cucu kita harus mandi atau minum dari air limbah yang sekarang kita buat.

Oleh sebab itu, mulai dari sekarang dan mulai dari diri kita masing-masing, bersama-sama kita mengintropeksi diri untuk meningkatkan kesadaran akan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas air yang tersedia. Serta meningkatkan kepedulian akan pentingnya konservasi dan pelestarian serta perlindungan air. Dan kepada pemerintah diharapkan meningkatkan kepeduliannya terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan terutama air. Serta bersinergi dengan lembaga-lembaga yang sudah ada baik negeri maupun swasta atau nasional maupun internasional dalam rangka menjaga kelestarian dan penyelamatan air.

Mengganti Lapangan Beton

Oleh : Kukuh Widyatmoko
Malang, Jawa Timur

Tanggal 22 Maret adalah Hari Air Sedunia. Kesadaran, bahwa jumlah air masih terbatas, belumlah merata. Warga Malang sampai saat ini masih belum merasa dampak dari kurangnya ramah terhadap lingkungan. Rumput hijau pun sudah berganti dengan rumput-rumput beton. Rumput-rumput gedung, dan bangunan.

Kita semua warga Malang sunguh tidak menginginkan mengalami kekurangan air. Tetapi kalau terus dilakukan rumput hijau berganti dengan gedung, rumput paving dan sejenisnya, bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan Malang mengalami kekuarangan air. Yang dapat dilakukan sekarang adalah mengurangi pemanfaatan paving sebagai material pengganti rumput hijau. Mengurangi pembanguan gedung dan bangunan di daerah hijau terlebih resapan air.

Otonomi daerah tidak dijadikan alasan pembenar, mengurangi daerah resapan air dengan mendirikan bangunan gedung dan sejenisnya. Sebagai warga Malang, saya menyarankan agar daerah resapan air yang semakin sempit tidak dipersempit lagi. Sebaliknya, pemerintah daerah menambah ruang terbuka hijau. Agar dapat bermain sepak bola di lapangan rumput bukan dilapangan beton, kasian. (Tulisan ini dimuat di Kompas, Edisi Jawa Timur, 29 Maret 2007).

Wednesday, March 28, 2007

Air Ibarat Nyawa Dalam Kehidupan

Oleh : Ali Rif'an
Ciputat, Tangerang.

Sudah seharusnya pada momen hari air sedunia (World Water Day), kita, umat manusia sadar akan pentingnya air dalam kehidupan ini. Air dan kehidupan adalah satu hal yang selalu berdampingan, bak sepasang suami dan istri. Tidak ada air tak ada kehidupan. Begitulah kalimat yang tepat saya lontarkan.

Keberadaan air sangat mutlak bagi mahluk yang ada di bumi ini. Tidak hanya kita manusia, melainkan mahluk selain kita juga membutuhkan air. Namun, sejauh mana kita menganggap air itu adalah hal yang penting? Dan sejauhmana pula peran kita, bangsa Indonesia dalam melestarikan lingkungan hidup ini? Itulah pertanyaannya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu muncul ketika musibah menghampiri bumi pertiwi ini. Dan yang selalu dijadikan kambing hitam adalah para elit politik yang dalam hal ini pemerintah.
Seharusnya kita sadar dan intropeksi diri, bahwa adanya bencana alam seperti banjir, tanah longsong dan lain sebagainya. Semua itu terjadi tidak lepas dari ulah manusia sendiri. Yaitu kurangnya kesadaran kita terhadap pemeliharaan lingkungan hidup. seperti membuang sampah tidak pada tempatnya, menggunakan air tanpa aturan, menggunduli hutan seenak perutnya sendiri dan masih banyak lagi tindakan-tindakan amoral lainnya.

Di sisi lain kita hanya bisa ngomong, cuap-cuap, menebarkan kata-kata yang manis dan empuk di media massa, Saling menyalahkan satu dengan yang lainnya. Sudah seharusnya kita berkaca pada diri sendiri. Sejauhmanakah peran kita dalam melestarikan lingkungan hidup ini? Sekaligus memulainya dari hal yang terkecil. Seperti membuang sampah pada tempatnya, menggunakan air sesuai dengan kebutuhan, peka terhadap lingkungan yang kotor, menanami pepohonan pada areal yang gundul, bersama-sama menerapkan hukum yang berguna bagi air, dll.

Memang bukan hal yang mudah untuk merealisasikan semua itu. Akan tetapi, mau tidak mau kita harus merealisasikannya, kalau kita mau hidup lebih panjang lagi. sebab air adalah ibarat nyawa bagi kehidupan kita.

Pentingnya Air bagi Kehidupan Manusia

Oleh : Abu Bakar Siddiq
Ciputat, Tangerang.


Semua makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia membutuhkan air dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tanpa air kita tidak akan bisa bertahan hidup. Karena kita tahu bahwa komposisi tubuh manusia terdiri dari atas 75 persen air dan 25 persen bahan padat. Jika tubuh kita kekurangan air, kita akan rentan terserang penyakit dan mengalami dehidrasi.

Akibatnya tubuh menjadi lemas dan dan konsentrasi terganggu.
Tidak hanya itu, dalam kehidupan sehari-hari pun kita membutuhkan banyak air, seperti untuk memasak, mencuci, mandi dan keperluan-keperluan lainnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh menyepelekan keberadaan air dalam kehidupan kita.

Sesungguhnya bila kita telaah, alam begitu banyak mengandung air dan Tuhan memang mencipatakan air untuk dimanfaatkan oleh manusia sebaik mungkin. Namun yang patut dipertanyakan, kenapa kita kadang masih kekurangan air?, khususnya air bersih. Apalagi di kota-kota besar seperti jakarta, air merupakan barang yang begitu berharga atau bahkan bisa dianggap hampir langka.

Terbukti ketika PAM mati semua bingung mencari air. Untuk mendapatkan air bersih kita harus berkorban mengeluarkan uang banyak. Dan ini terjadi tak lepas dari kurangnya perhatian dan kesadaran masyarakat dalam menjaga kelestarian alam dan menjaga air tetap bersih. Kita bisa lihat sungai-sungai saat ini telah banyak tercemar oleh limbah industri, kotoran manusia dan sampah-sampah yang dibuang sembarangan.

Maka dari itu, diharapkan kesadaran kita, bagaimana menjaga lingkungan kita agar tetap bersih serta menggunakan air sesuai dengan fungsinya, tidak menghambur-hamburkannya dengan sesuka hatinya. Sehingga ketersediaan air tetap bisa kita nikmati sepanjang jaman, termasuk generasi kita yang akan datang.

Dan hal ini tentunya harus ditunjang dengan dukungan dan program pemerintah dalam menggalakkkan kesadaran masyarakat untuk mencintai lingkungan, menjaganya agar tetap bersih dan asri. Menjaga kebersihan air dengan tidak membuang sampah pada sungai dan tempat saluran air lainnya. Yang mengakibatkan air kotor, tidak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari.

Dengan adanya perhatian pemerintah dan masyarakat yang selaras dalam menjaga kebersihan lingkungan dan air, berarti menyelamatkan generasi kita dari kekurangan air, khususnya air bersih.

Air : Menjadi Kebutuhan atau Membawa Bencana

Oleh : Abu Bakar Siddiq
Ciputat, Tangerang.


Air merupakan sumber kehidupan bagi manusia, juga makhluk hidup lainnya di alam ini. Tanpa air makhluk hidup tidak akan bisa bertahan hidup. Namun air juga dapat menjadi malapetaka bagi kita jika tidak memperhatikan lingkungan. Jika lingkungan kita kotor, air yang kita konsumsi kotor akan menimbulkan berbagai penyakit. Luapan air yang berlebihan juga akan mengakibatkan banjir dimana-mana.

Berkaca pada banjir yang terjadi pada awal bulan februari kemarin, yang hampir seluruh jakarta dan sekitarnya terendam air. Air menjadi bencana yang tidak dapat dihindari bahkan tak pelak menghilangkan banyak nyawa. Hal ini terjadi karena kurangnya perhatian kita terhadap lingkungan sekitar. Dan juga kurangnya kesadaran masyarakat dalam memelihara lingkungan kita agar tetap asri dan bersih. Jika kita lihat sungai-sungai yang ada disekitar kita, air yang mengalir begitu kotor dan penuh tumpukan sampah. Akibatnya saluran air tersumbat dan berbau. Hal inilah yang harus diperhatikan oleh kita semua dalam menjaga alam agar tidak menimbulkan bencana.

Hal ini juga tak luput dari kurangnya perhatian pemerintah terhadap pemeliharan lingkungan dengan penebangan pohon, membangun lahan-lahan yang awalnya sebagai resapan air menjadi bangunan kantor, perumahan dan fasilitas sarana lainnya tanpa adanya rekonstruksi tanaman-tanaman yang ditebang sebagai lahan penyerapan air. Akibatnya banjir melanda dan menyengsarakan semua lapisan masyarakat.

Dengan adanya hari air sedunia ini, semoga dapat mengugah hati kita terhadap begitu pentingnya air dalam kehidupan kita. Jika kita kekurangan air, kita akan sengsara dan tubuh kita tidak sehat. Dan jika air meluap juga akan merepotkan kita dengan terjadinya bencana banjir. Dengan bercermin pada bencana ini, semoga pemerintah juga akan segera melakukan tindakan antisisipasi agar bencana demi bencana tidak terulang lagi di masa mendatang.

Mari kita tingkatkan kesadaran menjaga lingkungan kita agar tetap bersih dan hijau. Menjaga kebersihan air, dan membuang sampah pada tempatnya. Bukan pada aliran air yang akan mengakibatkan saluran air tersumbat dan menimbulkan masalah atau bencana. Sehingga ketersediaan air yang kita konsumsi tetap terjamin bersih. Dengan memelihara lingkungan tetap asri dan bersih berarti telah menyelamatkan generasi kita yang akan datang dari kekurangan air bersih.

Ketika Sebuah Ritual Kehidupan Terhenti Karena Kelangkaan Air Bersih

Oleh : Agnes Sri P.
Rawamangun, Jakarta.


Banjir yang melanda Jakarta pada awal Februari 2007 lalu masih menyisakan banyak kisah duka yang tak mungkin dilupakan oleh orang yang mengalaminya. Berikut ini saya ingin berbagi pengalaman tentang kelangkaan air bersih di saat banjir dan kecemasan-kecemasan yang muncul sehubungan dengan kelangkaan tersebut.

Wilayah tempat tinggal saya sebenarnya tidak tergenang air ketika banjir datang, namun warga tetap mendapat musibah sehubungan dengan padamnya aliran listrik dan air selama enam hari (gardu listrik terendam air, demikian penjelasan dari Pemerintah Daerah). Tiadanya aliran listrik dan air dalam waktu yang cukup lama, tentu saja menimbulkan kepanikan tersendiri. Betapa tidak, tanpa listrik dan air seolah-olah seluruh aktivitas menjadi tertunda bahkan terhenti.

Dengan kelangkaan listrik dan air ini, mau tak mau saya harus mengubah pola hidup selama ini yang penuh kelimpahan dan kenyamanan dan salah satunya ditunjang oleh ketersediaan listrik dan air bersih. Di sini, secara khusus saya akan mengungkapkan betapa pentingnya ketersediaan air bersih - suatu hal yang terkadang kita sepelekan.

Sejak kecil, kita telah dididik untuk memiliki pola hidup bersih. Bersih itu sehat dan sehat itu baik. Bila kita menjaga kebersihan maka kita akan sehat dan kesehatan adalah baik untuk kehidupan. Demi pola hidup yang bersih dan sehat inilah, kemudian kita diajari untuk menjalani ritual “bersih-bersih” mulai dari membersihkan diri (mandi, gosok gigi, keramas), membersihkan peralatan makan (mencuci piring, dan sebagainya), membersihkan perlengkapan rumah (mengepel, menyeka perabotan), dan seterusnya.

Pola hidup bersih yang dilakukan puluhan tahun tersebut tak terasa telah menjadi budaya hidup bersih, di mana air menjadi simbol kebersihan. Air ternyata tidak sekedar menjadi simbol kebersihan tetapi juga telah menjadi mitos mengenai kebersihan itu sendiri. Apa yang terjadi dengan mitos-mitos itu ketika air bersih menjadi langka? Haruskah kita tetap menjalankan ritual “bersih-bersih” sebagaimana air melimpah?

Ketika air bersih sulit didapat, maka saya harus beradaptasi dengan mengubah pola pemakaian air yang bertumpu pada kelimpahan air bersih (menghamburkan air) menjadi pola hidup menghemat pemakaian air. Proses adaptasi ini, tanpa disadari telah menghancurkan mitos tentang kebersihan yang selama ini saya yakini, sebagai contoh dapat disebutkan beberapa disini 1) agar tubuh bersih maka harus dibilas sekian kali, 2) bila keramas, untuk mendapatkan rambut yang bersih maka harus diberi shampoo sekian kali, 3) agar lantai bersih maka harus dipel sekian kali atau, 4) pembilasan cucian harus dilakukan sekian kali agar baju benar-benar bersih.

Dengan air bersih yang minim, saya tidak lagi mampu memenuhi ketentuan di atas. Tentu saja saya cemas dan sulit menerima kenyataan bahwa air bersih sulit didapat. Saya harus mengantri demi beberapa ember air dan itu pun diperuntukan bagi kebutuhan yang sangat penting saja. Seribu pertanyaan muncul seperti apakah tubuh saya cukup bersih setelah mandi dengan air seember kecil? Apakah dengan pembilasan dua kali saja cucian bisa bersih?

Pertanyaan tersebut pada akhirnya menyadarkan saya tentang betapa pentingnya air bagi kehidupan dan ini pula yang seharusnya menjadi pemikiran bersama agar tidak lagi terjadi kelangkaan air bersih di masa mendatang.

Saat ini, pemerintah dan berbagai perusahaan swasta telah berupaya keras untuk melakukan konservasi air. Namun, kita - baik dalam lingkup individu atau dalam rumah tangga- juga dapat melakukan konservasi yaitu dengan menghemat pemakaian air. Cara ini merupakan cara termurah dan termudah karena kita sendiri yang mengatur penggunaan air untuk keperluan sehari-hari, namun di sisi lain juga tidak mudah karena mengandaikan kesadaran dari diri sendiri. Tentunya kita tidak senang bila pemerintahlah yang mengeluarkan peraturan khusus untuk menuntut kita berbuat ini atau itu demi menghemat air bersih.

Dengan pengalaman di atas, saya mengajak Anda untuk memikirkan kembali tentang ketersediaan air bersih di masa depan. Pengalaman akan kelangkaan air bersih selama masa banjir telah membuka mata dan hati bahwa suatu ketika air bersih akan sulit didapat. Bilamana hal ini terjadi maka terhentilah sebagian ritual kehidupan yang berkaitan dengan air. Untuk itu perlu pemahaman mendasar bahwa air bukan hanya untuk kehidupan orang per orang tetapi juga untuk kehidupan bersama. Dengan menghemat pemakaian air untuk kebutuhan pribadi atau rumah tangga maka kita telah berpartisipasi dalam upaya konservasi air. Ini semua demi kelangsungan hidup bersama, yang artinya demi kelangsungan hidup kita pula.

Stop Kebijakan Privatisasi Air!

Oleh : Alif Arrosyid
Ciputat, Tangerang


Fenomena krisis air bersih yang mengancam bangsa saat ini, mau tidak mau memaksa kita untuk berfikir ulang bagaimana memperlakukan kekayaan sumber daya air yang ada dengan sebaik mungkin. Ironisnya, DPR malah telah mengesahkan UU Sumberdaya Air yang justru memberikan peluang privatisasi dan penguasaan sumber-sumber air oleh badan usaha dan individu.

Pemberlakukan kebijakan privatisasi air tersebut tentu saja mencederai rasa keadilan sosial. Sebab, air adalah hak dasar bagi setiap warga negara. UUD 1945 pasal 33 ayat 2 menyatakan, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat ”. Artinya, negara menjamin dan bertanggungjawab atas tersedianya air bersih bagi setiap warga negara secara cuma-cuma.
Bahkan, Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada November 2002 menyatakan bahwa air adalah bagian dari hak asasi manusia.

Terkait masalah ini, hal serius yang harus kita waspadai adalah kuatnya aroma kepentingan kapitalis global. Kita tahu bahwa kebijakan privatisasi air tersebut merupakan syarat dari Bank Dunia untuk pencairan dana pinjaman program WATSAL (Water Restructuring Adjustment Loan). Dengan begitu, mereka akan leluasa melakukan investasi besar-besaran untuk menguasai sumber-sumber air negeri ini. Inilah bentuk penjajahan baru atas negara berkembang.

Akibat nyata dari privatisasi ini adalah jaminan pelayanan hak dasar bagi rakyat untuk mendapatkan air akan ditentukan mekanisme pasar. walhasil, privatisasi akan berujung pada komersialisasi air. Pada akhirnya, kelompok masyarakat miskinlah yang akan menjadi korban. Lantas, berapa puluh juta masyarakat miskin di Indonesia yang akan dikorbankan oleh kebijakan ini? Mengerikan.

Karena itu, pemerintah harus meninjau kembali kebijakan privatisasi air tersebut. Bila perlu, kebijakan tersebut segera dihapuskan karena menyalahi UUD 45 dan sama sekali tidak berpihak kepada rakyat kecil.

Selamatkan Air Kita

Oleh : Muhammad Amin
Ciputat, Tangerang.

Akhir-akhir ini bangsa kita seperti dihukum oleh alam. Di musim hujan, air meluap di mana-mana membanjiri banyak tempat. Sementara di musim kemarau, air seperti menghilang. Kondisi ini tentu sangat mengganggu kehidupan bangsa.

Air adalah kebutuhan dasar yang sangat diperlukan setiap orang. Karena itu, kelangsungannya mutlak harus diupayakan dengan berbagai cara. Cara terbaik adalah dengan mengembalikan kesimbangan alam yang terganggu akibat ulah manusia, oleh kita semua.

Hutan kita rusak berat akibat dieksploitasi secara membabi buta oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya jelas, hutan tidak lagi mampu menahan air hujan. Air langsung mengucur deras ke sungai hingga meluap. Hutan pun tidak lagi memiliki cadangan air yang cukup saat kemarau tiba.

Terkait hal ini, sudah saatnya pemerintah memberlakukan regulasi yang ketat dan penegakan hukum terhadap para pelanggar lingkungan, hutan khususnya. Kalau perlu, cukong-cukong pembalakan liar dihukum seberat-beratnya untuk memberikan efek jera kepada orang-orang yang hendak melakukan kejahatan serupa.

Semoga musibah yang kita alami akhir-akhir ini menjadi bahan renungan agar kita semua bisa memperlakukan alam secara arif. Ingat, air adalah hak setiap generasi. Anak cucu kita juga berhak menikmatinya.

Tuesday, March 27, 2007

Air di Jakarta

Oleh : Andy Kurniawan
Ciputat, Tangerang.

Air merupakan sumber kehidupan bagi seluruh mahluk hidup yang berada di jagad raya ini, tetapi ada apa dengan air di Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia dan sebagai kota metropolis. Dahulu air sangat mudah kita dapatkan, berlimpah serta air juga tidak menjadikan bencana di Jakarta. Dengan berkembangnya Jakarta dan semakin banyaknya masyarakat yang pindah ke Jakarta dari daerah-daerah yang berusaha untuk mencari kerja dan mengharapkan kesuksesan di Jakarta, menjadikan air semakin sulit, mengapa?

Pohon yang dahulu menjadi tempat serapan air dijadikan mall atau tempat pembelanjaan dan dijadikan rumah pemukiman karena semakin banyaknya pertumbuhan penduduk di Jakarta, karena itu juga Jakarta tahun 2007 ini dilanda oleh banjir yang sangat hebat, seluruh wilayah Jakarta tergenang banjir, banyak masyarakat yang menderita dan rugi karenanya.

Selain itu juga air sungai di Jakarta juga sangat kotor, bau, banyak sampah, padahal aliran sungai dapat dijadikan sebagai alat transportasi alternative setelah semakin banyaknya kendaraan bermotor dan macet yang selalu dijalani oleh masyarakat Jakarta setiap hari kerja, selain itu aliran sungai di Jakarta juga telah menyempit karena banyaknya rumah-rumah liar yang berada dibantaran sungai, mereka rela kebanjiran setiap tahun karena mereka tidak ada lagi tempat bemukim selain di bantaran sungai, bagaimana membantu mereka?, diusir?, digusur?, diberi ganti rugi ?, atau dibangunkan mereka tempat tinggal yang baru?

Rupanya bukan hanya di jakarta saja yang mengalami banjir saat musim penghujan tetapi didaerah lain pun mengalaminya. Oh Indonesiaku dimana hutanmu yang dahulu sangat hijau dan sebagai jamrud Katulistiwa sekarang engkau telah gundul karena kesalahan siapakah ?, mengapa Semua ini terjadi di negeriku dan negaraku yang tercinta ini?, apa yang dapat kita perbuat untuk memperbaiki ini semua?.

Ketika Air Menjadi Langka

Oleh : Andy Kurniawan,
Ciputat, Tangerang.

Sungguh suatu ironi di sebuah negara yang dikelilingi perairan, air bersih justru menjadi barang langka. Di kota-kota besar khususnya, ketersediaan air bersih yang memadai dan terjangkau bagi seluruh masyarakat sangat sulit didapatkan. Bahkan para pelanggan air PDAM pun, banyak mengeluhkan kualitas air yang mereka bayar tiap bulannya itu.

Bisa dibayangkan nasib para kaum pinggiran dengan ekonomi pas-pasan, yang tak jarang harus mengkonsumsi air ala kadarnya dari sungai atau sumber yang kotor. Atau mereka yang harus membeli air setiap harinya hanya untuk mandi dan memasak karena mereka tak punya sumber air bersih.

Dalam kondisi kelangkaan air seperti ini, peran serta semua pihak untuk melestarikan air sungguh sangat diperlukan. Mulailah dari diri kita sendiri. Mulailah dengan hal-hal yang sederhana, seperti mematikan kran air saat tidak diperlukan, atau mandi dengan shower yang memang lebih menghemat penggunaan air.

Dari hal-hal sederhana inilah, bila dilakukan dengan penuh kesadaran oleh semua orang, akan sangat membantu pelestarian air, kini dan juga nanti. Semoga air bersih tak lagi langka. Selamat Hari Air 2007.

Selamatkan Emas Biru Kita

Oleh : WA Wicaksono,
Kramat Jati, Jakarta.


Mungkin tak banyak yang perduli bahwa 22 Maret telah didaulat sebagai “World Water Day”. Hal ini telah disepakati dalam KTT Bumi di Rio de Janero, 1992, & ditegaskan PBB melalui Resolusi No. 147/1993. Sejak itu, berbagai tema mengenai perlunya kelestarian air telah digulirkan setiap tahunnya.

Tahun ini sebagai peringatan ke-15, PBB mengangkat tema “Coping with Water Scarcity” (Mengatasi Kelangkaan Air), sedangkan Indonesia sendiri memilih tema “Mengatasi Kelangkaan Air dan Menghadapi Banjir Secara Terpadu”. Namun adakah peringatan tersebut mampu membawa kesadaran tersendiri pada manusia ataukah menjadi sekedar seremonialitas yang sia-sia belaka?

Seharusnya fenomena yang terjadi di alam nyata cukup menyadarkan kita betapa berharganya air bagi kehidupan ini. Semakin langkanya air berkualitas, semakin mahalnya air bersih dalam kemasan, semakin dalamnya air tanah, semakin cemarnya air sungai, semakin sulitnya air untuk pengairan, dan semakin ganasnya banjir yang menerjang benar-benar merupakan sebuah kenyataan yang tak bisa kita pungkiri kehadirannya.

Lalu, kapan lagi kita akan mulai melakukan upaya nyata untuk menghemat air, menjaga kelestariannya, melindunginya dari upaya eksploitasi dan pencemaran serta memandangnya sebagai benda yang benar-benar berharga sehingga layak kita sebut sebagai emas biru?
Ironinya, tepat pada 22 Maret kemarin, pagi saat berangkat kerja, aku masih melihat orang-orang yang dengan cueknya membuang buntalan-buntalan sampah ke sungai, tanpa beban sedikit pun. Di depan beberapa perumahan mewah, masih kulihat orang-orang mencuci mobil dengan air yang berlimpah ruah. Di pinggir-pinggir jalan, masih kulihat saluran pipa air minum bocor hingga airnya membanjir sia-sia.

Jangan tunda lagi. Mari kita mulai upaya pelestarian air bagi kehidupan mulai detik ini juga. Tak perlu aksi-aksi mercusuar yang muluk-muluk. Cukup dimulai dari diri kita sendiri. Mandi, mencuci, menyiram tanaman, dengan air secukupnya, mengelola sampah pada tempatnya, mengurangi pengerasan pekarangan, menanam sebatang dua batang pohon kalau memungkinkan dan upaya-upaya bijak lainnya.

Seorang wanita tua dari suku Indian Cree bernama “Mata Api” pernah meramalkan, "Akan tiba suatu masa, di mana ikan-ikan mati di dalam air, burung-burung jatuh dari udara, air menghitam, dan pohon-pohon tidak lagi ada. Umat manusia yang tersisa nyaris binasa. Lalu akan ada suatu masa, saat para pemelihara legenda, sejarah, ritual budaya, dan mitos serta kebiasaan suku-suku purba diperlukan untuk memulihkannya. Mereka itulah yang akan menjadi penentu kelangsungan hidup umat manusia. Mereka adalah Para Ksatria Pelangi.”
Akankah kita benar-benar akan mengalami keadaan seperti yang diramalkan wanita Indian tersebut? Akankah kita hanya mampu diam saja dan menunggu kedatangan “Para Ksatria Pelangi” tersebut?

Tidak, kita tak boleh diam saja. Seharusnya kita berharap bahwa mungkin kitalah “Para Ksatria Pelangi” yang dimaksudkan ramalan tersebut. Jangan biarkan ketidakpedulian terus menutupi kesadaran kita. Bersama sepinya peringatan Hari Air Sedunia kemarin, mari kita renungkan kembali bagaimana berharganya air bagi kehidupan ini. Dan jangan biarkan kesadaran itu menguap bersama waktu walaupun tanggal 22 Maret telah berlalu.

Demi masa depan kehidupan, mari kita jadikan setiap hari kita sebagai hari air yang harus kita peringati tanpa henti dengan aksi pribadi yang lebih berarti semisal menghabiskan gelas minuman di meja kantor kita sebelum pulang, membetulkan kran-kran bocor yang ada di rumah, atau hal-hal sepele lainnya yang bermakna.

Dan ingatlah peringatan sepotong puisi sederhana milik sebuah organisasi peduli lingkungan yang sarat makna ini, “ketika pohon terakhir telah ditebang, ketika ikan terakhir telah terpancing, dan ketika air terakhir telah tercemar, kita akan sadar bahwa kita tidak bisa memakan dan meminum uang”.

Mari Kita jadikan setiap hari sebagai Hari Air Sedunia! Karena memang seharusnya kitalah “Para Ksatria Pelangi Itu”!

Air dan Manusia

Oleh : Bio In God Bless
Kelapa Dua, Depok.


Air adalah hal pertama yang dibahas oleh filsuf Yunani kuno. Thales, yang dikenal sebagai filsuf pertama, mengatakan bahwa arkhe (asas atau prinsip) alam semesta adalah air. Aristoteles menduga bahwa Thales berpikir begitu karena bahan makanan semua makhluk memuat zat lembab dan demikian halnya juga dengan benih pada semua makhluk hidup (Prof. Dr. K. Bertens, 1999: 35).

Dugaan lain mengatakan bahwa Thales berpikir demikian karena dia melihat air sebagai hal yang selalu berperan dalam kehidupan. Sesungguhnya, dinobatkannya air sebagai arkhe alam semesta oleh Thales merupakan simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai keeratan hubungan antara air dengan manusia dan kehidupannya. Keeratan hubungan antara air dengan manusia dan kehidupannya disadari oleh Thales dan kemudian dituangkan dalam filsafatnya.

Keeratan hubungan antara air dan manusia dan kehidupannya yang disadari oleh Thales pada zaman Yunani kuno tampaknya belum juga mengendur hingga saat ini. Penelitian tentang air yang dilakukan di dunia kedokteran semakin membuktikan dan melegitimasi keeratan hubungan antara air dengan manusia dan kehidupannya. Manusia sangat membutuhkan air. Kebutuhan manusia terhadap air menjadi salah satu faktor penentu lancar atau tidaknya seluruh proses metabolisme tubuh manusia.

Berbeda dengan senyawa yang lain, air tidak bisa disintesakan sehingga air harus diperoleh dari luar tubuh. Nuri Andarwulan phD, ahli gizi dan makanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menjelaskan bahwa air yang harus diminum adalah air yang sehat. Air yang sehat dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu aspek fisik, kimia, dan mikrobiologi. “Secara fisik, air yang sehat adalah air yang jernih, tidak berbau dan tidak berasa. Secara kimia, air yang sehat adalah air yang kadar pH-nya netral dan kandungan mineral-mineral tertentu ada batasnnya. Secara mikrobiologi, air yang sehat adalah air yang tidak mengandung mikroba penyebab penyakit (patogen). Dari segi medis, telah terlihat bahwa air yang sehat sangat penting bagi tubuh manusia.

Kesehatan manusia merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut berarti bahwa salah satu hal yang harus tersedia guna menjaga kesehatan manusia sebagai salah satu pemenuhan HAM adalah air yang sehat. Pahitnya, fakta di lapangan menunjukkan banyak daerah yang kekurangan air. Sebagai sample, pada bulan Agustus 2006, 33 desa di 4 kecamatan di Boyolali kekurangan air baik untuk kebutuhan hidup maupun untuk kebutuhan pertanian.

Dua penyebab dari terjadinya krisis air yang mengancam Pulau Jawa adalah semakin berkurangnya daerah tangkapan air karena sebagian besar daerah tangkapan air berubah fungsi menjadi kawasan pemukiman dan perindustrian serta penebangan hutan yang tidak terkontrol. Menurut Kepala Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) Jawa Barat, Apun Affandi, “eksploitasi air dan pengalihan penggunaan daerah tangkapan air yang tidak terkontrol membuat keseimbangan ekologis terganggu yang akhirnya mengurangi ketersediaan air di Jabar.”

Satu point yang dapat ditarik dari fakta yang dikemukakan dan dari penjelasan Kepala Pengelolaan Sumber Daya Air Jawa Barat adalah bahwa air tidak tak terbatas. Point yang lain dapat “diturunkan” dari 2 penyebab terjadinya krisis air yang mengancam Pulau Jawa, yaitu luas daerah tangkapan air dan kelestarian hutan merupakan 2 hal yang menjaga agar ketersediaan air tidak berkurang.

Menjaga ketersediaan air sesungguhnya juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak menghambur-hamburkan air dan menggunakan air sesuai dengan kebutuhan merupakan cara yang efektif untuk membantu menjaga ketersediaan air. Dengan cara demikian, tidak akan terjadi eksploitasi air seperti yang dijelaskan oleh Apun Affandi.

Ketersediaan air dan kualitas air yang sehat juga merupakan hak asasi dari anak-cucu kita nanti. Pemenuhan hak asasi tersebut tentunya merupakan suatu proses. Kesadaran serta kepedulian untuk memenuhi hak asasi kita dan anak-cucu kita dalam hal ketersediaan air yang cukup dan kualitas air yang sehat merupakan modal awal yang baik untuk menjalin proses tersebut.

Jagalah Air Kita

Oleh : Ernawati Manimbangi
Nagasaki, Jepang.

Dalam perjalanan dari Fukuoka ke Sasebo, dua buah kota di Jepang, saya sungguh terkesima menyaksikan aliran sungai-sungainya yang jernih, bersih, sangat jauh berbeda dengan sungai-sungai di negara kita. Mata saya juga tak hentinya melihat pegunungan dan bukit-bukit yang hijau, sangat terjaga dari penggundulan hutan. Konon Jepang lebih baik mengimpor kayu dari luar daripada membabat hutan mereka. Dan ternyata itu bukan saja terlihat di kedua kota itu.

Mengapa kita tidak seperti itu, kasihan anak cucu kita kelak. Dua hal utama yang harus diperhatikan: pertama, menjaga air dari sumbernya, seperti tidak menebangi hutan; kedua, menjaga air yang sampai kepada kita, menggunakan sesuai kebutuhan, tidak berlebih-lebihan dalam menggunakannya dan menjaga aliran sungai dari sampah yang berserakan. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggalakkan terus kepada masyarakat, khususnya di kalangan para pelajar SD, SMP, dan SMA untuk turun langsung di lapangan dan harus dipantau setiap bulannya. Mereka harus menjadi pelaku sekaligus pengkampanye pentingnya menjaga sumber air.

Sungai yang bersih dari sampah dapat menyelamatkan kita dari bahaya banjir, dan juga dapat menjadi sumber air yang sehat, bersih dan akhirnya cukup untuk persediaan generasi selanjutnya. Jika air sungai tak terjaga maka sumber air untuk keperluan sehari-hari semakin lama semakin sulit ditemui.

Semoga kesadaran kita akan pentingnya menjaga air semakin meningkat, dan tentu saja harus diikuti dengan tindakan nyata. Selamat Hari Air Sedunia, di bulan maret ini. Semoga masyarakat semakin bertanggungjawab untuk menjaga airnya, kebutuhan kita semua.

Monday, March 26, 2007

Ketika Air Jadi Musuh

Oleh : Teguh Rasyid
Suronatan, Yogyakarta.

Air, begitu banyak manusia yang mengelu-elukan air. Menggunakan "dia" di pelbagai kesempatan hidup, untuk kegiatan sehari-hari, untuk diri sendiri, bahkan untuk mahluk lain selain manusia.

Manusia menganggap air sahabat terbaik manusia yang pernah ada di dunia, mereka tak pernah memakai zirah perang atau mengacungkan pedang tanda pertempuran di mulai. Hingga manusia lupa, mereka menghabiskan air dengan tanpa ada sebuah logika yang terpatri dalam benak. Mereka pikir air takkan pernah habis meski mereka menggunakannya tanpa batas.

Lalu ketika air tiba-tiba berada di sudut yang berbeda, dengan dada membusung dalam bentuk banjir, kekeringan, dll. Apa yang kita lakukan? Hanya lelehan air mata yang kemudian mendesak keluar dari sudut mata kita, dengan tatapan memelas memandang air, seakan berkata, " Air, maafkan kami, jangan kau lumat apa yang kami punya! Itu harta satu-satunya yang kami punya..."

Lalu, apa gunanya sebuah penyesalan di sebuah akhir? Tidak ada! Coba jika kita bisa mengerti, bahwa air juga mahluk, meski tidak punya nyawa, namun coba hargai! Mereka juga butuh disayang, digunakan dengan baik, penggunaan yang tidak berlebihan, karena "mereka" juga akan habis seperti mahluk Allah yang lainnya.

Dengan melestarikan lingkungan, itu bukti bahwa kita menghargai air, dengan tidak membabat hutan sembarangan maka kita menyayangi air, maka niscaya airpun menyayangi kita.Maka air akan jadi sahabat kita, sahabat terbaik kita, bahkan lebih baik dari apapun di dunia...

Friday, March 23, 2007

Kebutuhan Air Bagi Rakyat Tanggung Jawab Pemerintah

Oleh : Sarono
Duren Sawit, Jakarta.


“Jangan salahkan kami jika akhirnya terjadi sebuah peperangan demi memperebutkan seteguk air untuk keluarga kami. Hal ini kami lakukan karena kami (rakyat kecil) tidak mampu membeli air yang harganya lebih mahal dari harga minyak ini. Air adalah kebutuhan vital. Tanpa air kami akan mati. Jadi kami memilih perang untuk berebut air daripada keluarga kami mati karena kehausan”

Kalimat di atas merupakan sebuah keprihatinan saya ketika banyak dari saudara-saudara kita yang tidak dapat menikmati air bersih dalam hidupnya. Bahkan mereka (warga yang tinggal di bantaran kali seperti di kali Ciliwung/Jakarta), misalnya, harus mengkonsumsi air yang sudah kotor dan tercemar untuk memenuhi kebutuhan airnya baik itu untuk mandi, gosok gigi, mencuci pakaian, bahkan mencuci bahan-bahan untuk dimasak.

Kekhawatiran itu semakin menjadi karena berbagai kebijakan pemerintah justru menjauhkan masyarakat miskin untuk mendapatkan air bersih secara cuma-cuma. Salah satu kebijakan pemerintah yang akan mengakibatkan masyarakat miskin tidak mendapatkan akses air bersih adalah dikeluarkannya Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Dalam UU itu disebutkan bahwa pengelolaan sumber daya air ditetapkan dengan melibatkan seluas-luasnya peran masyarakat dan dunia usaha.

UU ini semakin menguatkan swastanisasi air bersih yang sebelumnya sudah dikeluarkan oleh Presiden melalui Keppres No. 96 Tahun 2000 yang menyatakan bahwa saham perusahaan air minum dapat dimiliki oleh swasta asing sampai 95%. Swastanisasi pengelolaan air ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan akses air bersih bagi masyarakat bawah karena akan terjadi eksploitasi secara berlebihan demi keuntungan ekonomi semata.

Swastanisasi air juga akan membuat industri dan perusahaan skala besar mendapatkan prioritas dibandingkan konsumen lainnya. Pasalnya industri dan perusahaan akan berani membayar dengan harga tinggi. Sedangkan masyarakat kelas bawah yang tidak mampu membeli air bersih akan mengkonsumsi air yang secara kesehatan tidak memenuhi syarat karena sudah tercemar.

Melihat kenyataan-kenyataan ini, saya berharap agar pemerintah sebagai induk bagi seluruh rakyatnya dapat melakukan tindakan-tindakan yang berpihak kepada rakyatnya. Apalagi air sesungguhnya adalah bagian dari hak asasi manusia untuk memperolehnya. Indonesia yang sebenarnya memiliki sumber daya alam termasuk sumber daya air yang melimpah, sudah seharusnya rakyatnya tidak kesulitan air bersih.

Namun jika kebijakan dari pemerintah sudah tidak berpihak kepada masyarakat untuk mendapatkan akses yang sebesar-besarnya terhadap air, maka dikhawatirkan akan terjadi perang untuk memperebutkan air. Sebab masyarakat tidak akan mampu membayar untuk mendapatkan air. Apalagi dalam kondisi ekonomi bangsa yang belum stabil seperti sekarang ini. Jadi sekali lagi, masalah air ini sebenarnya perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah agar seluruh rakyat tidak kesulitan mendapatkan air besih kendati hidup dalam kemiskinan.

Air, Si Teman Hidup Yang Abadi

Oleh : Xaveria Rienekso Hendryaningrum,
Tebet, Jakarta.


Ratusan bahkan jutaan mahkluk di bumi ini membutuhkan air, bukan saja kita, manusia. Melainkan habitat lainnya juga menjadikan air sebagai kebutuhan pokok mereka. Namun, sejauh mana kita menganggap air adalah satu hal yang penting? Dan sejauh mana kita dapat memberi suatu arti terhadap air? Sederhananya, pernahkah kita bertanya “dari mana air ini berasal dan bagaimana prosesnya sehingga kita bisa menikmatinya?” Tidak banyak diantara kita yang mengerti betul bagaimana dari sekian proses, air itu bisa menjadi Coca-cola dan siap kita nikmati!

Memang bukan hal yang mudah untuk memberikan arti terhadap air. Bukan sekedar ‘Ibu-lah yang merebus air sehingga dapat menghilangkan dahagaku!’ Seharusnya tidak bisa disederhanakan sedemikian rupa untuk menjadikan air sebagai sahabat kita sekaligus “teman hidup” yang abadi.

Antrian panjang untuk mendapatkan air bersih adalah pertanda bahwa air adalah “teman hidup” yang terus-menerus dicari oleh para penikmatnya. Banjir yang menenggelamkan sebagian permukaan daratan adalah bukti permusuhan kita, manusia dengan air. Lalu-lalang orang-orang menutup hidung ketika melintasi sungai yang penuh sampah merupakan tanda keegoisan manusia terhadap “teman hidupnya yang kekal”.

Jika permusuhan dan keegoisan manusia terhadap air memuncak, tiba saatnyalah si air meluapkan amarahnya karena merasa diabaikan oleh “teman hidupnya” yaitu kita, manusia. Dan ketika amarah si air yang terbendung sekian lama meledak hebat, tibalah kita menangis, memohon-mohon kepada air untuk kembali menjadi teman hidup kita. Bahkan kita selalu menjanjikan kepada air untuk hidup kekal bersama. Namun janji tinggalah janji! Seandainya kita bisa bertanya kepada nenek moyang kita pada masa Nabi Nuh, bagaimana rasanya ‘air bah yang menenggelamkan seluruh permukaan bumi?

Sudah seharusnya sejak saat inilah, pada momen World Water Day, kita mencintai dengan tulus dan berjanji untuk tidak berpaling dari air. Namun, komitmen ini memang mengandung konsekuensi besar. Yaitu membentuk dan menjaga kelestarian lingkungan, menggunakan air sesuai kebutuhan, membuat dan menerapkan hukum yang berguna untuk melindungi air (sungai, laut, pantai dll), cagar alam, hutan, lingkungan hidup, dll.

Hal ini merupakan tindakan nyata atas pengorbanan kita terhadap air sebagai “teman hidup” yang telah memberikan ‘nyawa bagi kehidupan, dimana kita benar-benar menginginkan untuk terus bersanding dengannya. Dengan semangat Hari Air Sedunia, kita pastikan semua perilaku manusia terhadap air-lingkungan dan semua produk hukum berpihak pada kelangsungan air untuk masa depan.

Air Tiga Masa; Dulu, Sekarang, dan Akan Datang

Oleh : Stephanie Anggraini Surya,
Manggarai, Jakarta.

Di masa lalu, air dianggap sebagai barang berharga. Di jaman manusia hidup berpindah-pindah pun, mereka selalu tinggal di dekat sumber air. Bahkan ada peperangan yang terjadi karena perebutan sumber air. Penggunaan air pun dijaga ketat dengan hukum adat yang dibuat oleh masyarakatnya. Dahulu, manusia memuja alam, termasuk air yang dianggap sebagai sumber kehidupan. Manusia dan alam hidup berdampingan bak suami istri.

Akan tetapi, sekarang, manusia bak majikan alam. Manusia menentukan nilai dan hidup-mati suatu tumbuhan, batas seberapa banyak hasil alam yang akan diambil, ataupun akan digunakan seperti apa. Air dipompa secara terus-menerus tanpa batas untuk memenuhi beragam kebutuhan yang ada di kehidupan sehari-hari kita. Dan seringkali, kita yang menerima ini lupa memberi kembali, entah dalam bentuk reboisasi, membangun sumur resapan, ataupun menjaga kebersihan sungai di sekitar kita.

Akibatnya jelas, keseimbangan alam yang selama ini terjaga dengan baik menjadi rusak, bencana pun datang silih berganti. Dan saat banjir besar di Jakarta baru-baru ini, konyolnya, kita bertanya kenapa musibah ini bisa terjadi? Semua orang lantas sibuk mencari ‘kambing hitam’; ada yang menyalahkan kota Bogor sebagai pengirim banjir, ada yang menyalahkan pemerintah yang tidak tegas terhadap perencanaan perkotaan, ada yang mengatakan ini takdir dan lain sebagainya.

Saya rasa tidak ada orang yang mau disalahkan, saya juga demikian. Terlebih lagi, lebih mudah melihat kesalahan orang lain. Akan tetapi, kerugian mendapatkan ‘kambing hitam’ adalah secara tidak langsung kita berhenti introspeksi diri, membenahi diri ataupun melakukan sesuatu. Hal inilah yang membuat bencana terus berulang, bumi semakin hancur, dan pasokan air semakin menipis.

Dahulu orang mengatakan bahwa air tak akan habis, tapi dahulu mereka bahkan tak bermimpi es di kutub utara bisa mencair seperti yang saat ini terjadi. Melihat fenomena ini, kita dapat sama-sama menanyakan ini pada diri kita, “Apakah masih ada air bersih untuk semua di masa depan? Atau hanya sebagian kecil orang saja yang memiliki akses air bersih karena air sudah jadi barang langka?” Sebelum ini terjadi, apa yang kita dapat lakukan? Apa yang Anda ingin lakukan?

Berikan Sanksi Berat Kepada Perusak Alam

Oleh : Suta Widhya,
Utan Kayu, Jakarta.


Keberadaan air sangat mutlak bagi umat manusia. yaitu untuk air wudhu dan MCK. Fasilitas air yang minim memaksa panitia langsung memesan air pada PDAM setempat untuk satu kali kiriman dengan mobil tangki setiap pagi harinya untuk diisi di bak penampungan. Itulah pengalaman ketika mengikuti kegiatan amal di Padang yang melibatkan peserta dari berbagai daerah.

Bila panitia semata-mata mengandalkan suplai air tanah yang hanya mampu memasok bak penampung ukuran kecil, maka akan sengsaralah 99 orang yang menjadi peserta kegiatan ini, padahal bak MCK massal yang terletak terpisah dari rumah panggung itu perlu diisi demi kebutuhan para peserta.

Selain fenomena di atas, ada laporan peserta dari Ingragiri Hulu, Rengat, yang mengatakan,bahwa transportasi antara Rengat ke Tembilahan tidak lagi memakai Speed Boat atau Kapal Fery. Air Sungai sudah lama menyusut karena kerusakan hutan. Sekarang jarak Rengat ke Tembilahan sudah dilalui dengan melalui jalan darat. Kabar ini menyakitkan sekali. Ternyata kerusakan alam sudah terjadi dimana-mana. Menyusutnya air sungai di Indragiri diakibatkan pendangkalan dan kerusakan hutan di wilayah sekitar.

Menyelamatkan air bagi umat manusia sudah pasti dengan menjaga lingkungan hidup . Menjaga air bukan hanya untuk masa kini, tapi juga untuk masa depan. Pengajaran agama Islam akan lebih efektif, andaikan aplikasi di lapangan sesuai antara kata yang terucap dan perbuatan yang dilakukan. Hemat pemakaian air mestilah dilakukan dari diri sendiri. Bila dikatakan bahwa kerusakan di muka bumi adalah karena ulah tangan manusia, maka jangan pula menyalahkan siapa-siapa.

Sanksi bagi para perusak hutan sepantasnya sama dengan sanksi yang dijatuhkan kepada para pembunuh umat manusia. Sebab, dengan merusak hutan sama dengan merusak kehidupan, manusia dan mahkluk hidup lainnya. Berikan sanksi berat kepada perusak alam!