Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.
Air, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan dasar publik, sebagai kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi, pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Agenda privatisasi diberbagai negara menunjukkan fenomena monopoli baru dan harga yang meningkat beberapa kali lipat. Seperti yang terjadi di Manila dan Filipina, yang menaikkan tarif air hingga 500%. Bolivia merupakan salah satu contoh kasus privatisasi yang didektekan secara gamblang dan ternyata bertujuan untuk menaikkan tarif air masyarakat miskin (petani dan masyarakat pedesaan). Mereka adalah kelompok yang paling menderita karena tidak mampu membayar.
Penyediaan air minum di wilayah Jakarta pun jauh lebih buruk setelah diprivatisasi kepada PT Lyonaise dan PT. Thames. Hal ini bertolak belakang dengan asumsi World Bank, IMF dan ADB bahwa privatisasi bukan jawaban kinerja buruk pemerintah, dilihat dari indikator kualitas pelayanan air minum, target pertambahan pelanggan tidak mencapai ketentuan kontrak, target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah kinerja PAM Jaya.
Seperti ungkapan Vice President World Bank, Ismail Serageldin, “Perang di masa depan akan menyangkut air”, karena bisnis air ibarat bisnis minyak. Setiap orang menggunakan air sehingga menjadi pangsa pasar yang menarik. Inilah maksud dari perusahaan raksasa melalui lembaga keuangan international.
Masihkan kita melakukan privatisasi air? Yang jelas-jelas pada akhirnya akan membuat rakyat menderita. Dimanakah pemerintah sebagai instrumen negara dalam menyediakan pelayanan publik? Akankah kita “terjajah lagi” karena kebodohan kita? Melakukan kesalahan yang telah jelas-jelas dilakukan dan terbukti tidak mendatangkan kemaslahatan rakyat? Haruskan kita bertanya pada rumput yang bergoyang
Monday, April 2, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment