Monday, April 2, 2007

Air dan Kekuatannya

Oleh : Rini Utami Azis
Solo, Jawa Tengah.

Siapakah yang bisa hidup tanpa air ? Begitu besar keguanaan air dalam kehidupan di dunia ini. Saat kita gerah dan kotor setelah beraktifitas sehari-hari, kita menyiramkan badan kita dengan air untuk mandi. Kemudian kita meneguk air kalau dahaga, dan begitu banyak sekali aktifitas kehidupan kita yang sangat bergantung pada air.

Begitu lekatnya air dalam kehidupan kita, sehingga bisa saja ada yang tidak menyadari manfaatnya. Manfaat itu baru terasa bila kita mengalami kesulitan mendapatkan air bersih.

Ketika saluran air mengalami gangguan, dan keluarnya air menjadi mampat dan kotor, itu sudah sangat meresahkan kita. Bagaimana kalau air sudah tidak kita dapati lagi ? Bencana kekeringan yang menimpa, selain bencana banjir yang begitu dahsyat terjadi karena kesalahan mahluk di dunia ini yang begitu serakah dan tidak peduli dengan kondisi alamnya.

Begitu besar kekuatan air dalam kehidupan ini, karena itulah sayangilah air dengan menggunakannya sebaik-baiknya. Selain itu, kekuatan air akan semakin bertambah dan berpengaruh positif pada diri kita bila saat hendak menggunakan air, misalnya mau minum, kita berdoa terlebih dahulu.

Hal tersebut dibuktikan oleh profesor dari Jepang dengan penelitiannya tentang air yang akan berubah tekstur dan kristalnya sesuai kondisi pemakainya. Karena itu gunakanlah kekuatan postif air dengan menggunakannya dengan penuh kasih sayang. (Surat Pembaca telah dimuat di Harian Solopos, Senin, 26 Maret 2007).

Ironi Indonesia

Oleh: Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Menjadi ironi sebenarnya, ketika membaca posisi Indonesia dalam menghadapi isu kelangkaan air global. Sebab bumi Nusantara merupakan surga Khatulistiwa yang kaya raya. Tongkat ditancapkan pun bisa merangkak tumbuh. Apalagi bibit pohon sesungguhnya.

Artinya kandungan nutrisi, unsur hara, terutama air, luar biasa melimpah di dalam bumi kita. Tapi mengapa Indonesia justru masuk kategori negara yang terancam krisis air?

Hanya menyalahkan faktor alam dan lingkungan? Sangat tidak masuk akal. Sebab selama ini alam terlampau baik terhadap kita. Cuma, kita saja yang tidak pernah menyadarinya. Bahkan kita sendiri yang selalu mengkhianati kebaikan itu.

Buktinya saat musim hujan Indonesia kaya dengan air. Tapi karena lingkungan telah kita cederai, yang tersisa bukan deposit air, melainkan banjir. Akibat lainnya, bila musim kemarau tiba, paceklik air selalu melanda. Itulah akibatnya jika kita melukai alam. Padahal alam tidak pernah alpa melayani kita.

Revitalisasi Nilai Tradisional untuk Menjaga Alam

Oleh: Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Apa perbedaan mendasar orang zaman dulu dengan orang zaman sekarang (modern) ketika berhadapan dengan alam dan lingkungan sekitar? Perbedaannya terletak pada persepsi mereka terhadap alam dan lingkungan sekitar.

Orang zaman dulu menganggap alam merupakan bagian dari kehidupannya. Bahkan bagian dari nyawanya sendiri. Ada semacam benang merah yang memperantarai antara dunia kehidupan manusia dengan dimensi alam lingkungan. Sehingga dari situ manusia akan menganggap alam dan lingkungannya sebagaimana layaknya saudara sesama manusia. Mereka tabu mengintervensi kehidupan alamiah alam dan lingkungan. Apalagi melakukan perbuatan yang dapat merusak kelestariannya. Walaupun agak berbau tahayul dan tidak rasional, tapi toh dengan itu, kelestarian alam dan lingkungan relatif lebih terjaga.

Tapi kalau manusia modern malah sebaliknya. Mereka menganggap alam dan lingkungan sebagai dunia luar yang terpisah dari kehidupannya. Sehingga alam dan lingkungan hanya untuk dimanfaatkan, dieksplorasi, bahkan dieksploitasi demi kebutuhan manusia semata. Tanpa pernah memikirkan kelangsungan hidup alam dan lingkungan itu sendiri. Pola pikir semacam itulah yang menjadi pangkal bencana alam, rusaknya lingkungan, termasuk ancaman krisis air. Sebab manusia akan seenaknya menebang kayu, membuang sampah-sampah plastik di sembarang tempat, tanpa memperhatikan nasib kelestarian alam lingkungan.

Karena itu, salah satu jalan menyelamatkan keberadaan alam dan lingkungan agar lestari adalah dengan mencoba menerapkan kembali prinsip-prinsip primitif itu pada generasi muda kita. Tujuanya agar mereka tidak terlampau silau dengan pola pikir modern yang justru tidak bersahabat dengan alam dan lingkungan. Juga agar mereka punya rasa takut untuk merusak alam dan lingkungan. Dengan harapan di masa depan alam dan lingkungan kita tetap terawat. Sehingga krisis air dapat terhindarkan.

Sekali lagi, bukan bermaksud mengajari generasi muda kita pikiran mistis dan tahayul. Karena tidak selamanya nilai-nilai tradisional itu jelek. Dan telah terbukti jika modernisasi di segala bidang malah banyak mendatangkan bencana.

Menciptakan Teknologi Pengolahan Air

Oleh : Mohammad Afifuddin
Jember, Jawa Timur.

Banyak pakar memperkirakan dunia akan mengalami krisis air di masa depan. Faktor hancurnya ekologi serta rusaknya beragam ekosistem yang hidup di sekitar lingkungan peradaban manusia, disinyalir menjadi penyebab utama krisis tersebut. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini telah tandus. Sungai-sungai juga mengalami penyempitan akibat tumpukan sampah di sekeliling muaranya.

Berbagai program revitalisasi air terus digalakkan untuk mengantisipasi datangnya bencana itu. Dari sekian banyak program itu, mayoritas diarahakan pada pembenahan mental manusia yang acuh terhadap pentingnya menjaga sirkulasi air dan kelestarian lingkungan. Diantaranya, advokasi lingkungan, menggalakkan reboisasi, kampanye di media massa, maupun mengagendakan penyuluhan langsung di lapangan.

Namun entah sampai kapan langkah-langkah seperti itu dapat bertahan. Sebab kita serasa jalan di tempat. Seakan tidak ada perubahan berarti dari seluruh program tersebut. Manusia tetap saja brutal terhadap lingkungan, air dan kandungan alam lainnya. Bahkan tambah hari, kuantitas dan kualitas kejahatan mereka kian meningkat. Dan krisis air maupun degradasi lingkungan hampir mendekati kenyataan.

Bukan bermaksud berputus asa. Tapi kita harus realistis. Upaya yang tertempuh selama ini tentang revitalisasi lingkungan dan air tidak berdampak signifikan. Dari situ seharusnya kita berfikir lebih futuristik. Dan untuk sementara kita abaikan ulah manusia-manusia tidak beradab itu. Biarkan mereka merasakan dampak atas tingkah mereka sendiri suatu saat nanti. Lebih baik kita sekarang memikirkan masa depan air jika kondisinya mencapai titik terburuk.

Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi, kita bisa menciptakan alat pengolah air laut menjadi air tawar. Atau pengolah air keruh yang diambil dari sumber manapun menjadi air yang layak dikonsumsi manusia. Memang teknologi semacam itu sudah tersedia saat ini. Tapi apa salahnya jika kita terus memperbarui dan mempercanggihnya. Agar jika situasi buruk soal pengadaan air bersih benar-benar terjadi, alat itu dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Dan biarlah manusia-manusia yang lalai memikirkan masa depan air akan musnah dengan segala kebodohannya.

Liberalisme Air

Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.

Gelombang liberalisasi tampaknya sudah tak terbendung lagi. Semua aspek hidup kita terpaksa harus tunduk pada kesepakatan-kesepakatan internasional yang hanya memperhatikan pemilik modal besar.

Telah tampak adanya diskriminasi karena privatisasi air. Kebijakan yang tidak pro dengan rakyat ketika air adalah bisnis, maka ia kemudian tak sekedar bergerak mencari keuntungan, tetapi juga bagaimana dapat mengikat dan lalu memperdaya orang sehingga mau tunduk terhadapnya, terhadap kekuasaan yang menguasainya. Pengelolaan air tidak lagi mempertimbangkan bagaimana melakukan pengelolaan air dalam suatu sistem yang sanggup memberi pelayanan air kepada masyarakat secara adil, merata dan terjangkau.

Air adalah kebutuhan dasar manusia, sebab itu air tak boleh dikomersialisakan sebagai kebutuhan dasar masyarakat, telah dijamin dalam konstitusi negara pada pasal 33 UUD 1945. Contohnya di Batam, daerah pemukiman elit menjadi prioritas utama, sementara daerah-daerah perkampungan dan kumuh tidak tersentuh, seperti Teluk Lenggung, Pungur yang masih mengkonsumsi air sumur sampai saat ini, padahal menurut hasil uji laboratorium Dinas Kesehatan air di wilayah tersebut tidak layak konsumsi karena mengandung bakteriologi positif tinggi dan pH di bawah batas syarat. Sementara beberapa meter dari pemukiman warga berdiri instalasi pengelolaan air (IPA).

Banyaknya bunuh diri yang sekarang sedang merajalela karena merasa tekanan hidup yang tinggi, yang sulit untuk dijalani. Masihkan pemerintah tidak memperhatikan hak-hak dasar seperti air, pendidikan dan kesehatan? Bukankah rakyat tidak pernah menuntut sesuatu yang berlebihan? Mereka hanya membutuhkan terpenuhinya hak-hak mereka. Untuk menangis meratapi nasib pun kita akan berpikir karena kita akan mengeluarkan “air mata”. Sekali lagi, kita perlu berhati-hati dengan masalah air, sekali salah langkah, bukan nyawa saja yang tergadaikan, tetapi juga masa depan anak cucu.

Air, Sumber Kehidupan Dunia

Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.

Pada tingkat internasional, hak atas air yang telah diteguhkan dalam Ecosoc Declaration (Deklarasi Ekonomi, Sosial, dan Budaya) PBB pada bulan Novemeber 2002. Namun pada tanggal 19 Februari 2004 DPR telah mengesahkan Undang-undang Sumber Daya Air yang baru. Dalam UU yang baru ini beberapa pasal memberikan peluang privatisasi sektor pengendalian air minum dan penguasaan sumber-sumber air (air tanah, air permukaan, dan sebagian badan sungai) oleh badan usaha dan individu.

Menurut World Bank harga air di masyarakat di bawah “harga dasar” dan perlu dinaikkan dengan menerapkan mekanisme harga Full Cost Recovery/FCR (konsumen membayar harga yang meliputi seluruh biaya). Sekarang di Jakarta sudah menerapkan mekanisme FCR. Contoh nyata saat pemerintah DKI masih mensubsidi tarif air karena tidak dinaikkan pada tahun 1998-2001, pemerintah DKI memiliki “utang” sekitar Rp.900 milliar kepada operator asing karena membebankan selisih Water Charge (imbalan air). Sekarang hal ini sangat terasa karena bagi orang berpenghasilan biasa, air PAM sudah tidak sanggup lagi untuk dibayar.

Pemakaian kata hak guna air, meski secara harfiah pengusaha hanya memiliki hak menggunakan, namun implementasinya hampir tidak ada bedanya hak milik karena air yang diusahakan kontrol, akses, dan penguasaannya ada pada mereka. Jangan sampai bencana kekeringan yang menelan ribuan korban jiwa di Gurun Sahel akibat air bumi (ground water) yang dipompa secara over explited adalah ilustrasi perlunya pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.

Air adalah komponen penyusun jasad makhluk hidup yang terbesar (lebih besar dari 80%), baik itu manusia, hewan, mapun tumbuhan. Apakah kita akan mengadaikan hidup kita kepada pengelolaan air oleh perusahaan transnasional (Multi National Corporation / MNC? Dimanakah letak tanggung jawab negara? Jangan sampai terbesit di hati rakyat, “apa masih ada negara?”.

Kenapa Tidak Berkaca dengan Bolivia ?

Oleh : Maftuhah
Menteng, Jakarta.

Air, pendidikan dan kesehatan adalah kebutuhan dasar publik, sebagai kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya dijamin konstitusi, pasal 33 UUD 1945, ayat 3 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Agenda privatisasi diberbagai negara menunjukkan fenomena monopoli baru dan harga yang meningkat beberapa kali lipat. Seperti yang terjadi di Manila dan Filipina, yang menaikkan tarif air hingga 500%. Bolivia merupakan salah satu contoh kasus privatisasi yang didektekan secara gamblang dan ternyata bertujuan untuk menaikkan tarif air masyarakat miskin (petani dan masyarakat pedesaan). Mereka adalah kelompok yang paling menderita karena tidak mampu membayar.

Penyediaan air minum di wilayah Jakarta pun jauh lebih buruk setelah diprivatisasi kepada PT Lyonaise dan PT. Thames. Hal ini bertolak belakang dengan asumsi World Bank, IMF dan ADB bahwa privatisasi bukan jawaban kinerja buruk pemerintah, dilihat dari indikator kualitas pelayanan air minum, target pertambahan pelanggan tidak mencapai ketentuan kontrak, target teknis pemakaian air tidak tercapai, tetap dibawah kinerja PAM Jaya.

Seperti ungkapan Vice President World Bank, Ismail Serageldin, “Perang di masa depan akan menyangkut air”, karena bisnis air ibarat bisnis minyak. Setiap orang menggunakan air sehingga menjadi pangsa pasar yang menarik. Inilah maksud dari perusahaan raksasa melalui lembaga keuangan international.

Masihkan kita melakukan privatisasi air? Yang jelas-jelas pada akhirnya akan membuat rakyat menderita. Dimanakah pemerintah sebagai instrumen negara dalam menyediakan pelayanan publik? Akankah kita “terjajah lagi” karena kebodohan kita? Melakukan kesalahan yang telah jelas-jelas dilakukan dan terbukti tidak mendatangkan kemaslahatan rakyat? Haruskan kita bertanya pada rumput yang bergoyang