Wednesday, March 28, 2007

Ketika Sebuah Ritual Kehidupan Terhenti Karena Kelangkaan Air Bersih

Oleh : Agnes Sri P.
Rawamangun, Jakarta.


Banjir yang melanda Jakarta pada awal Februari 2007 lalu masih menyisakan banyak kisah duka yang tak mungkin dilupakan oleh orang yang mengalaminya. Berikut ini saya ingin berbagi pengalaman tentang kelangkaan air bersih di saat banjir dan kecemasan-kecemasan yang muncul sehubungan dengan kelangkaan tersebut.

Wilayah tempat tinggal saya sebenarnya tidak tergenang air ketika banjir datang, namun warga tetap mendapat musibah sehubungan dengan padamnya aliran listrik dan air selama enam hari (gardu listrik terendam air, demikian penjelasan dari Pemerintah Daerah). Tiadanya aliran listrik dan air dalam waktu yang cukup lama, tentu saja menimbulkan kepanikan tersendiri. Betapa tidak, tanpa listrik dan air seolah-olah seluruh aktivitas menjadi tertunda bahkan terhenti.

Dengan kelangkaan listrik dan air ini, mau tak mau saya harus mengubah pola hidup selama ini yang penuh kelimpahan dan kenyamanan dan salah satunya ditunjang oleh ketersediaan listrik dan air bersih. Di sini, secara khusus saya akan mengungkapkan betapa pentingnya ketersediaan air bersih - suatu hal yang terkadang kita sepelekan.

Sejak kecil, kita telah dididik untuk memiliki pola hidup bersih. Bersih itu sehat dan sehat itu baik. Bila kita menjaga kebersihan maka kita akan sehat dan kesehatan adalah baik untuk kehidupan. Demi pola hidup yang bersih dan sehat inilah, kemudian kita diajari untuk menjalani ritual “bersih-bersih” mulai dari membersihkan diri (mandi, gosok gigi, keramas), membersihkan peralatan makan (mencuci piring, dan sebagainya), membersihkan perlengkapan rumah (mengepel, menyeka perabotan), dan seterusnya.

Pola hidup bersih yang dilakukan puluhan tahun tersebut tak terasa telah menjadi budaya hidup bersih, di mana air menjadi simbol kebersihan. Air ternyata tidak sekedar menjadi simbol kebersihan tetapi juga telah menjadi mitos mengenai kebersihan itu sendiri. Apa yang terjadi dengan mitos-mitos itu ketika air bersih menjadi langka? Haruskah kita tetap menjalankan ritual “bersih-bersih” sebagaimana air melimpah?

Ketika air bersih sulit didapat, maka saya harus beradaptasi dengan mengubah pola pemakaian air yang bertumpu pada kelimpahan air bersih (menghamburkan air) menjadi pola hidup menghemat pemakaian air. Proses adaptasi ini, tanpa disadari telah menghancurkan mitos tentang kebersihan yang selama ini saya yakini, sebagai contoh dapat disebutkan beberapa disini 1) agar tubuh bersih maka harus dibilas sekian kali, 2) bila keramas, untuk mendapatkan rambut yang bersih maka harus diberi shampoo sekian kali, 3) agar lantai bersih maka harus dipel sekian kali atau, 4) pembilasan cucian harus dilakukan sekian kali agar baju benar-benar bersih.

Dengan air bersih yang minim, saya tidak lagi mampu memenuhi ketentuan di atas. Tentu saja saya cemas dan sulit menerima kenyataan bahwa air bersih sulit didapat. Saya harus mengantri demi beberapa ember air dan itu pun diperuntukan bagi kebutuhan yang sangat penting saja. Seribu pertanyaan muncul seperti apakah tubuh saya cukup bersih setelah mandi dengan air seember kecil? Apakah dengan pembilasan dua kali saja cucian bisa bersih?

Pertanyaan tersebut pada akhirnya menyadarkan saya tentang betapa pentingnya air bagi kehidupan dan ini pula yang seharusnya menjadi pemikiran bersama agar tidak lagi terjadi kelangkaan air bersih di masa mendatang.

Saat ini, pemerintah dan berbagai perusahaan swasta telah berupaya keras untuk melakukan konservasi air. Namun, kita - baik dalam lingkup individu atau dalam rumah tangga- juga dapat melakukan konservasi yaitu dengan menghemat pemakaian air. Cara ini merupakan cara termurah dan termudah karena kita sendiri yang mengatur penggunaan air untuk keperluan sehari-hari, namun di sisi lain juga tidak mudah karena mengandaikan kesadaran dari diri sendiri. Tentunya kita tidak senang bila pemerintahlah yang mengeluarkan peraturan khusus untuk menuntut kita berbuat ini atau itu demi menghemat air bersih.

Dengan pengalaman di atas, saya mengajak Anda untuk memikirkan kembali tentang ketersediaan air bersih di masa depan. Pengalaman akan kelangkaan air bersih selama masa banjir telah membuka mata dan hati bahwa suatu ketika air bersih akan sulit didapat. Bilamana hal ini terjadi maka terhentilah sebagian ritual kehidupan yang berkaitan dengan air. Untuk itu perlu pemahaman mendasar bahwa air bukan hanya untuk kehidupan orang per orang tetapi juga untuk kehidupan bersama. Dengan menghemat pemakaian air untuk kebutuhan pribadi atau rumah tangga maka kita telah berpartisipasi dalam upaya konservasi air. Ini semua demi kelangsungan hidup bersama, yang artinya demi kelangsungan hidup kita pula.

No comments: